Skip to main content

Uang Membuatmu Jadi Lebih Jahad?

Saya ingat kelas Pak Andika, dosen Quantitative Methodology di SBM ITB. Kala itu, beliau memperlihatkan salah satu video Ted Talk dari Profesor Paul Piff yang berjudul Money Makes You Mean. Video tersebut berisi penjelasan beberapa eksperimen sosial. Dijelaskan bahwa ketika seseorang bermain monopoli, sang juara seringkali jadi congkak. Congkak ini ditunjukkan dengan beberapa hal seperti berkata lebih agresif, mendominasi lawan dengan perkataan yang menyudutkan, lebih banyak makan kudapan yang disediakan sambil berbahagia di atas penderitaan lawan yang kalah. Sedangkan pihak yang kalah cenderung berwajah muram, diam tak berdaya memikirkan nasibnya dan tidak sedikitpun menyentuh kudapan yang disediakan. Sebenarnya saat itu kelas sedang membahas mengenai metodologi eksperimentasi, tapi yang mengena di hati justru, “woah ini analogi si kaya dan si miskin nih.” Betapa si kaya adalah pemenang di sebuah permainan yang bernama kehidupan, dan si miskin serupa dengan pecundangnya.

UUD (Ujung-ujungnya duid)

Penelitian lainnya membicarakan mengenai proses menyebrang jalan, dimana tim peneliti merekam dan mengamati perilaku si penyebrang jalan. Temuannya menunjukkan bahwa mobil-mobil mewah cenderung tidak memberi jalan untuk seseorang menyebrang. Bahkan statistik menunjukkan bahwa semakin mahal mobil seseorang, semakin ia tidak akan memberi jalan pada penyebrang jalan. Iya kadang aku pun heran, sering terjadi jika kita ingin menyebrang, justru mobil atau motor malah jadi nge-gas seakan ingin mendahului kecepatanku sebagai pejalan kaki (red. membunuhku), tapi pas udah nyebrang ya ngerem juga sih, huhu kalian mau membunuh kok tidak professional sekali sih…

Lantas kemudian, aku bertanya-tanya, apakah benar memiliki banyak uang membuat kita cenderung kehilangan hati nurani?

Kata Profesor Piff, semakin sugih seseorang, semakin dia mengisolasi diri secara psikologis dan material, sehingga kecenderungannya mereka hanya memperdulikan kepentingannya sendiri saja. Yang penting aku selamat, enak, lezat dan tersedia di Go-food. Loh gimanaaa… hahah

Nah, mayoritas orang kadang berpikir, orang miskin lah yang harusnya secara ekonomi lebih egois karena dia ga punya banyak resource dan capital. Padahal faktanya, dalam penelitian, orang kaya cenderung lebih pelit dan sulit untuk berbagi jika dibanding orang yang berkekurangan. Padahal logikanya, lo kan udah kaya anjir, harusnya bisa lah lebih berbagi.. Tapi nyatanya ngga, data bilang yang berkekurangan harta justru bersifat lebih dermawan.

Kalau kamu bertanya "kenapa"? Jawabannya ada beberapa.

Teruntuk kamu yang miskin dan baik hati, tentu kamu sudah mengamini pendapat di atas dan tahu jawabannya. Terima kasih kuucapkan~ karena orang seperti kalian, dunia terasa lebih indah. Katanya karena kalian lebih peka, punya mindset nothing to lose dan lebih tahu rasanya susah, jiwa kalian menjadi lebih bijak dan terasah dalam mempraktekkan kasih.

Teruntuk kamu yang kaya tapi tidak seperti yang disebutkan, tenang saja… selalu ada outlier. Outlier ini ditemukan dengan mereplika riset Prof Piff di Belanda yang menunjukkan hasil kontradiktif dengan hasil sebelumnya, yang kaya memang lebih dermawan. Tatanan masyarakat yang ideal. Sungguh, kalian memang idaman. Terima kasih kuucapkan~ karena orang seperti kalian, dunia selangkah lebih dekat dengan peradaban yang didambakan.

Teruntuk kamu yang kaya dan memang yang diomongin sama Prof Piff. Ga apa-apa, mungkin belum dapat hidayah. Tenang, jalan taubat selalu terbuka. Yuk~ HHHH, canda tapi serius akutuh… Tapi nih, memang kalian ini makhluk paling rasional karena kalian membelanjakan uang tanpa terpengaruh perasaan. Mungkin itu juga yang menjadi alasan kalian kaya!

Terlepas dari itu semua, penelitian itu selalu harus ditinjau case by case. Terutama yang menyangkut kepribadian seseorang. Kan bisa saja hasil penelitian tersebut di dalamnya ada bias-bias yang sulit kita cegah. Misalnya saja, ketika kamu menjalani penelitian tersebut golongan rich cenderung pelit karena mood-nya sedang buruk, atau karena dia lebih suka memberikan uang tersebut pada orang yang terdekat dan terkasihnya. Bisa aja loh.. hidup kan ga ada yang tau.

Setelah postingan sebelumnya berbau kofit naintin terus, akhirnya hari ini memutuskan untuk menulis hal yang berbeda. Terima kasih kepada Pak Andika, salah satu dosen yang anomali namun tetap sahih cerdas dan baiknya. Terima kasih telah mau dicatut namanya dan berbagi tontonan yang mind provoking ketika di kelas.

Hai, kamu.. Semoga kamu termasuk golongan rich dermawan yaaa..
Jangan lupa bayar zakat ya kamu!

Salam hangat terambyar,

Aang

Comments

Popular posts from this blog

Entry 5 - Gratitude Journal: Wished

What is something that you have now that seemed like a wish back then? The first thing that comes to my mind is the freedom to do anything.  Hal yang tampak seperti mimpi dulunya adalah melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa. Beberapa di antaranya merupakan adegan berbahaya yang hanya bisa dilakukan oleh ahli. Hal seperti bepergian sendiri kemanapun, membeli barang-barang lucu yang diinginkan, bahkan berpikir hanya untuk diri sendiri. Aku tidak tahu kenapa kota tempatku tinggal,  Karawang disebut Kota Pangkal Perjuangan, tapi aku cukup tahu semua orang di sini memang bergelar pejuang. Menjadi dewasa artinya bergerak menjadi seorang yang berjuang. Dulu semuanya diperjuangkan oleh orang lain tanpa kita maknai. Sekarang aku tahu betapa lelahnya itu, tapi tidak ada seorang pun bertanya, karena semua orang ingin beristirahat juga. Aku suka menjadi dewasa karena hal-hal yang tidak terlihat ketika aku kecil, sekarang semuanya nyata. Sayangnya, kita semua mend...

Entry 4 - Gratitude Journal: Happy Memories

Write about the memories that made you happy! Aku tumbuh dan dibesarkan dengan baik oleh ayah ibuku. Banyak kenangan indah yang bisa aku jadikan sebagai mantra Patronus-ku. Sangat sulit memilih mana yang bisa aku jadikan mantra utama penangkal duka lara. Kalau aku meninggal, core memoriesku mungkin bisa menentukan mana best of the best memories, kalau sekarang masih bingung milihnya. Aku suka hari-hari kenaikan kelas, pembagian raport, dan wisuda. Karena ada kebahagiaan terlimpah ruah setelah bisa melewati kesulitan berlevel, ada kesenangan terpancar saat kita bisa mengukir senyum bangga orang tua. Momen itu yang menjadi batu pondasi kalau kelak aku lupa apa itu rasanya bagaia. Momen bahagia baru terasa setelah serentetan lelah dan luka kita lalui, kita naik level, kita jadi lebih baik. Dan kenangan itu membuatku bahagia. Aku juga suka hari-hari normal yang berlalu dengan penuh kedamaian. Ada kewarasan yang tersimpan dalam sebuah rutinitas. Ada rasa aman ketika tahu kita bisa beristir...

Rethinking about Value

Setelah baca bukunya Matt Haig, aku baru ngeh.. beliau itu pemikirannya sedikit banyak mengurai apa yang muslim harus tahu. Salah satunya adalah tentang VALUE. Selama ini, kupikir value itu konsep yang diciptakan dan dikembangkan manusia untuk menjadi manusia yang diterima secara sosial, atau paling nggak menjadi manusia yang bisa membanggakan seseorang yang dicintainya. Misalnya aja, seseorang dianggap memiliki value ketika ia bertanggung jawab, punya integritas, punya kepribadian yang unik, punya passion yang diperjuangkan, punya ketangguhan dalam menghadapi gempuran masalah, dll dll. Semua itu.... dilakukan demi ayang. HEH bukan. Yaaaa maksudnya semua itu dilakukan demi menjadi manusia yang 'desirable' atau paling nggak 'acceptable' lah yaa.. Makanya orang tuh harus terus berusaha untuk mengenali dirinya, supaya tahu value apa lagi nih yang harusnya ada di dirinya, yaa biar bagusan dikit jadi manusia. Atau value apa yang harus di-achieve biar bisa so emejing like yo...

Entry 3 - Gratitude Journal: Most Grateful For

What person in your life are you most grateful for? What do you admire about them? Siapa orang yang paling kamu syukuri ada di hidupmu? Apa yang kamu kagumi darinya? Sebagai seorang anak, aku selalu bersyukur karena terlahir dari rahim seorang ibu yang sholehah. Dari senyum ibuku, lahir ketenangan. Dari do'a tulusnya, terbuka jalan yang dipermudah. Dari keberadaannya saja, dunia terasa baik-baik saja. Dari ridho ibu, ridho Allah pun terasa dekat. Sebagai seorang perempuan, aku kagum pada kekuatannya, begitu kuatnya ia menjalani takdir yang tak selalu ramah. Aku kagum pada kesabarannya untuk menikmati segala sesuatu diantara ketidaknikmatan yang khidmat. Aku mengagumi kebaikannya yang tulus, kalau ada seseorang yang pantas didaulat menjadi Menteri Sosial, itu adalah ibuku. Sebagai seorang manusia, aku mengagumi ibuku karena beliau sosok yang kehadirannya dirindukan. Aku tahu teman-temannya sering menanyakan kehadirannya yang alfa, atau ketika beliaulah yang selalu dicari dan ditany...