Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2018

Tentang etnosentris dan budaya

Ketika gw datang ke jepang, gw tahu gw akan menilai jepang dengan nilai-nilai keluarga dan bermasyarakat yang gw miliki di Indonesia. Gw sadar bahwa semua manusia di dunia ini terikat dengan budaya dimana dia dibesarkan. Fenomena ini kemudian disebut dengan etnosentris , dimana seseorang mengukur segala sesuatu dengan budayanya seolah semuanya berpusat dan berstandar pada budaya yang dibawanya. Awalnya gw berpendapat bahwa etnosentris adalah hal yang mutlak sifatnya. Tapi kemudian gw sadar satu hal…bahwa gw sendiri adalah orang interdisipliner, gw memegang pakem ilmu yang seharusnya bisa melihat dari berbagai perspektif dan bermacam keilmuan. Contohnya aja untuk memahami mengapa beberapa waktu lalu batu akik di Indonesia sangat booming, bukan hanya ilmu kebudayaan masyarakat yang dibutuhkan, tapi juga ilmu ekonomi yang akan menaksir bagaimana perputaran uang, persepsi value dan benefit terjadi dalam bisnis batu akik ini. Gw inget salah satu pengertian dari Mbah Selo Soemardjan

Tokyo Olympic 2020 dan Ryo

Pagi ini ketika sedang berselancar di youtube saya menemukan sebuah video dari channel That Japanese Man Yuta yang memotret bagaimana pandangan orang jepang terhadap adanya Tokyo Olympic 2020. Seperti biasa polarisasi selalu terbentuk ke dalam tiga bagian, yang setuju, yang tidak setuju, dan yang bodo amat. Kebanyakan dari yang diwawancarai setuju karena dengan adanya Olympic akan mendatangkan keuntungan ekonomi, terbukanya mata umat manusia akan budaya jepang, dan beberapa lagi menyatakan karena kesukaannya pada olahraga. Dari kubu yang tidak setuju nampak seperti para pesimis dan orang yang waspada akan segala ancaman teroris, atau bahkan menyangsikan adanya keuntungan finansial dari mega event ini. Beberapa menyatakan bahwa mereka tidak terlalu tertarik, orang jepang memang cenderung sangat ignorant alias cuek. Mayoritas memang cenderung mengungkapkan rasa setujunya. Ketika hari sabtu lalu saya singgah di pusat Tokyo, mereka memang nampak sedang berbenah, mulai dari stasiun, st

Perempuan dan pekerjaannya

Kemarin aku main ke channel CNN Indonesia, ada liputan khusus tentang seorang perempuan yang menjadi satpam untuk salah satu bank, dan ini menjadi viral karena beliau ini cantik dan dulunya pernah bekerja sebagai model. Sebenernya aku seneng sama berita kaya gini, karena sifatnya ringan dan membuatku merasa bahwa perdamaian dunia masih punya harapan untuk bisa terwujud. #elah Sebagai seorang perempuan, sebelumnya aku ngga pernah merasa bahwa ada masalah yang sedang terjadi terkait diriku sebagai perempuan. Mungkin karena aku saat itu belum terpapar dunia luar dan belum merasakan kejamnya lidah manusia. Seiring dewasa, aku akhirnya tahu stigma yang melekat pada perempuan. Kemudian aku melek dengan informasi dan tahu adanya problem terkait gender equity (kesetaraan gender) dan gender equality (keadilan gender). Mari kita urai perbedaan antara kedua hal tersebut. Kesetaraan gender dimaknai sebagai kesamaan kondisi dimana perempuan dan laki-laki bisa memperoleh kesempatan dan ha

Publikasi adalah Berhala Baru

Suatu kelas yang aku ambil, Pak Bill, professor tamu yang berasal dari UK mengungkapkan suatu kenyataan muram yang akan mahasiswa hadapi, beliau berujar bahwa “publikasi adalah berhala baru bagi saintis.” 💥 Hal ini tahun lalu dibuktikan melalui kontroversi aturan publikasi karya ilmiah bagi para dosen (Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017). Kemudian insentif pun dilempar sebagai umpan untuk membuat jajaran akademisi giat berkarya. Publikasi pun diputuskan sebagai salah satu syarat tunjangan dosen, di beberapa perguruan tinggi lainnya jumlah publikasi mempengaruhi gaji yang masuk rekening dan seberapa uang proyekan masuk bisa menggemukkan dompet. Awalnya tanggapan saya dalam hati hanya sebatas “apa boleh buat, mungkin memang sudah takdirnya”. Permasalahan ini kemudian tenggelam karena bagi mahasiswa ini urusan pekerjaan yang merupakan tanggung jawab dosen, saat itu saya belum memunculkan empati. Dosen pembimbing saya saat ini terbilang sangat baik dan bijak dalam memainkan

Realistis Vs. Ambisius

Intro: Ada lagu yang akan gw rekomendasikan untuk postingan ini: Family of the Year – Hero . Listen to it 😊 Ada seorang manusia yang saat ini duduk di salah satu perpustakaan di kampus jepang, iya siapa lagi kalau bukan gw, yang sedang menuliskan kata demi kata untuk kamu baca. Pada suatu ketika, gw sedang memikirkan apakah meme ekspektasi versus realita itu memiliki makna yang lebih dalam dari sekedar hanya guyonan netizen saja? Gw memikirkan itu ketika gw lagi baca paper, damn it! Kenapa otak gw mudah sekali terdistraksi oleh tetek bengek kemanusiaan. Gw memang sempat propose sama diri sendiri, gimana kalau gw lagi melakukan sesuatu, terus gw mendadak mendapati pertanyaan tentang kehidupan yang ga penting, gw harus ngobrol sama diri gw dan menjawab pertanyaan tersebut sampai ke akarnya. Kali ini gw akan mencoba mendalami isu “ekspektasi versus realita”. Menurut gw, untuk memahami hal tersebut ada baiknya kita mengingat masa kecil atau masa-masa dimana kita belum

Tentang pernikahan

Kemarin gw menggerutu “anjir ini feed Instagram gw isinya bayi semua”, ya walaupun ada beberapa yang kontennya tidak mengandung bayi, tapi tetep aja gw generalisasi karena selalu ada dan persentasenya terus meningkat. Dengan usia gw yang memasuki seperempat abad, memang wajar kalau teman sejawat gw mulai beranak dan menjadi orang tua sungguhan. Kemudian gw teringat salah satu pembicaraan gw bersama seorang ahli so tau, dia bilang “menikah itu buat orang yang ga tau mau ngapain lagi hidupnya ang.” Oke mari diperjelas. Seringnya masyarakat kita menerjemahkan bahwa ketika kuliah kelar, pekerjaan ada, yang tersisa adalah berumah tangga, mau ngapain lagi sih selain itu? Tuntutan untuk meminang dan dipinang itu nampak menggiurkan memang, kita terbebas dari salah satu tekanan budaya, dan lainnya adalah kita punya seseorang untuk berbagi segalanya. Semenjak gw bersekolah, pertanyaan untuk pernikahan bisa ditangkis dengan alasan “adek masih sekolah bang”, tapi jangan salah temen-teme

Memaintain rasa rindu agar tidak berat

Suatu pagi gw terbangun dan menyadari bahwa gw merindukan sesuatu (tapi masih diperlukan analisis lanjut 'sesuatu' itu apa?? hehe). Inginnya sih bisa rindu sama pacar gitu, tapi buru-buru ingat kalau ga punya pacar. Ya sudah, kuputuskan agar kasusnya lebih family-friendly (ngaco abis), aku memilih untuk rindu masa depanku yang belum jelas. Eh tapi logikanya, kamu ga bisa rindu sama sesuatu yang belum jelas, ya ga sih? Aang di tahun 2018 bisa rindu aang di tahun 2010, tapi aang tahun 2010 ga bisa rindu aang tahun 2018. Mungkin karena imajinasiku (tahun 2010) ga tau apa yang harus dirindukan dari diri gw di masa depan. Hmm jadi untuk merindukan sesuatu ada syaratnya: perihalnya harus jelas dan bisa dibayangkan. Aku juga berarti ga bisa rindu diriku di parallel universe dimana aku lahir sebagai aang yang rajin dan suka bangun pagi? Hadeuh, rindu syaratnya rumit juga ya. Baiklah, aku akan merindukan hal sederhana saja. Aku akan merindukan suasana rumahku di p

Seberapa banyakkah cukup itu?

Judul tersebut merupakan terjemahan kasar dari salah satu artikel Alan Durning yang berjudul “ How Much is Enough? ” Kita mungkin tahu bahwa kata “cukup” itu sangat relatif dan maknanya tergantung kepada siapa yang mendefinisikan. Durning sendiri ga secara detail mendikte bagaimana seharusnya kita merasa cukup atau bagaimana proses kecukupan itu tercipta. Dia hanya memaparkan kegelisahannya akan sumber daya alam dan apapun itu yang makin hari makin habis tapi manusia ga berusaha buat ‘ address the issue ’. Maklum artikel jadul (artikelnya keluar pas gw lahir, tahun 1992), jadi isu ini posisinya saat itu masih ada di awal pergerakan. Tapi jujur saja, Indonesia masih ada di posisi itu, memulai dan belajar memahami. The tragic irony of this momentous transition is that the historic rise of the consumer society has been quite effective in harming the environment, but not in providing the people with a fulfilling life. Durning sampai mempertanyakan sampai seberapa banyak sih sesu

Pemburu Pikiran

Akhir tahun lalu, aku menonton salah satu serial TV yang sangat berkesan, judulnya MindHunter. Serial tersebut menceritakan bagaimana anggota FBI dengan latar 1977 merumuskan system profiling dengan melakukan wawancara pada para pembunuh kelas kakap. Serial ini diusung oleh Netflix, baru satu season yang keseluruhannya ada 10 episode. Mindhunter ini menilik pembunuh dari segi psikologi, ga banyak adegan actionnya. Si pemeran-pemerannya berasal dari Unit Behavioral Science, terdengar begitu keren dan canggih bukan? Tenang aku tidak akan spoiler bagaimana ceritanya. Yang jelas.. Beberapa kisah pembunuhan di sini merupakan adaptasi dari kisah pembunuhan yang terjadi sungguhan. Lalu...mereka pada akhirnya bisa berkesimpulan dan mengklasifikasikan ada dua jenis pembunuh, pertama yang “ organized ”, lalu yang “ disorganized ”. Mereka juga dalam perjalanannya mempelopori penamaan serial killers , yang artinya pembunuh berantai yaitu orang yang membunuh beberapa orang pada