Tahun 2019 menjadi tahun kulminasi.
Tahun 2019 merasa kalau belum
bisa hidup merdeka menjadi manusia.
Hidup merdeka artinya
terlepas dari semua halangan yang menindih dan menghambat pertumbuhan manusia
menjadi dewasa.
Agak sedih ketika persoalan
utama dalam hidup ku saat itu adalah stagnansi diri. Kenapa tidak bisa secara bebas
terbuka menantang diri sendiri untuk bertumbuh menjadi lebih dewasa.
Sudah nyaman banget ya kaya
gini.
Akhirnya aku mendudukkan diri
sendiri dan memulai pembicaraan batin, “apa kita pindah saja? Memulai hidup
yang sepenuhnya baru. Hidup yang merdeka.”
Hidup merdeka artinya hidup
bebas dari segala ketakutan.
Agak kesal karena kontribusi ku
sebagai manusia pada manusia lain kadang kurasa hanya sekedar keasyikan dalam
seminar-seminar dan publikasi ilmiah. Aku tahu tidak ada yang benar atau salah,
hanya saja yang kujalani ini antara setuju atau tidak setuju.
Mungkin kamu belum atau sudah
masuk di fase ingin lari dari perlambatan diri. Rasanya seperti aku kok
gini-gini aja ya. Lebih jauh lagi, rasanya kok ini aku useless ya.
Sore itu, ditemani lagu You Are A Tourist oleh Death Cab for Cutie, aku
merasa tercerahkan. Katanya ketika kamu merasa seperti turis di tempat kamu
dilahirkan, itu adalah saat yang paling tepat untuk pergi, masih banyak tempat
yang kamu bisa sebut sebagai rumah.
Dengan semangat, aku menghitung
semua uang yang kumiliki. Setelah dihitung, uangnya cukup untuk benar-benar
memulai kehidupan baru tanpa ngapa-ngapain dulu selama setahun. Satu-satunya
tempat yang menurutku cocok dengan jiwaku adalah Jogja. Dia salah satu yang bisa
memenuhi visiku untuk bisa hidup merdeka. Begitu pikirku.
Oke, tinggal setahun di Jogja.
Dalam pemikiranku saat itu, aku juga memiliki rencana bekerja setelah satu bulan
tinggal di tempat baru tersebut.
Kemudian aku mengutarakan perihal
keinginanku pindah pada ibuku. Ibuku muntab, dinasehatinya aku “Kamu maunya
apa? Kenapa tiba-tiba pengen pindah? Mana belum jelas lagi..” Iya, ibuku tidak
setuju.
Aku tidak mudah menyerah. Saat
itu kontrak kerjaku di tahun 2019 sudah habis, memang ada tawaran diperpanjang,
tapi aku menolaknya. Kuputuskan untuk pergi ke Jogja sendirian. Tanpa restu
ibu. Tapi karena aku masih menghormatinya jadi ketika aku sampai Jogja di awal
tahun 2020, aku mengabarinya. Rebel banget kan kabur. Iya, aku seperti sedang berjudi hanya untuk memenuhi keinginan ajaibku: hidup merdeka. Aku bilang sama ibu,
kalau aku lagi liburan dua minggu dulu. Ngga bilang bahwa aku bisa aja menetap
di sana selama setahun. HAHA.
Aku tinggal di Condong Catur.
Tiap hari aktivitasnya memang
liburan. Pada pagi hari biasanya aku sarapan, lanjut ke Toga Mas membeli buku,
dan kemudian bergegas ke tempat ngopi. Membaca buku sampai siang. Kadang kalau
di tempat bukunya menyediakan bacaaan, aku sengaja tidak membawa bacaan
sendiri. Kalau aku bosan ngopi, aku akan melihat-lihat dan berjalan-jalan. Melakukan
apapun yang bisa dilakukan manusia merdeka. Bebas sekali rasanya.
Aku mengenal beberapa barista. Mereka adalah teman ngobrol yang asik. Mungkin karena aku hepi jadi
ngobrolnya enak, biasanya pemalu. Memang kalau kamu bepergian sendirian, kamu
jadi mengasah diri, melakukan hal yang sebelumnya tidak kamu lakukan, dan
mengapresiasi semua teman yang kamu peroleh selama perjalanan.
Aku mempunyai tempat sarapan
soto favorit, Soto Ayam Pak Dalbe rasanya sederhana bersahaja seperti mencicipi serbukan surga. Aku mengunjungi hampir semua tempat makan legendaris. Aku
sempat selama dua hari kerjanya hanya menaiki bis trans jogja, menjajal semua rute.
Di trans jogja itu dingin. Pak supirnya nyetel lagu dangdut Jawa. Jam pulang
sekolah penuh anak sekolah yang sangat sopan tidak mau duduk dan mempersilakan
orang tua terlebih dahulu. Aku menghapal semua jalan tikus berpedoman pada
google maps. Aku bertemu dengan banyak orang yang sangat menyenangkan secara
kepribadian. Aku pergi ke masjid besar untuk menumpang sholat. Aku kehujanan beberapa
kali dan terjebak di burjo atau warung kopi yang segelasnya hanya membayar
beberapa lembar ribuan. Aku sudah mulai mencari daerah tempat tinggal untuk
kutinggali. Aku sudah menentukan kandidat. Jalan Bugisan.
Tapi telpon itu datang. Telpon
yang akan mengubah segalanya.
Telpon dari Bu Yuanita yang memintaku
bekerja untuk Pak Gatot. Siapa yang mampu menolak Pak Gatot??? Dosen terbaik yang
pernah diciptakan Tuhan.
Akhirnya, tanpa berpikir panjang,
dosen ahli surga itu membuatku membatalkan semua rencanaku. Aku kembali ke
Bandung pada Februari dan menjadi pekerja kembali di bawah Pak Gatot.
Saat itu jelas aku tidak tahu
apa yang akan terjadi di bulan Maret. Yang kutahu, bekerja di bawah orang yang
sangat baik itu akan terasa sejuta kali lebih menyenangkan. Tapi memang di
balik itu, aku akhirnya memahami bahwa mungkin ada do’a ibuku di dalamnya. Dan
tentu, Tuhan sedang menuliskan skenario yang menurutnya terbaik.
Saat aku menulis ini
sekarang, aku merasa aku memang butuh liburan. Tapi kali ini bukan lagi perihal
Jogja. Aku justru ingin berlibur di kantor, bersama teman kerjaku. Atau paling
tidak, ucap saja kemana aku harus pergi. Aku akan googling dulu dan
merencanakan sesuatu.
Semoga kita tidak lupa bahwa
kita pernah melakukan dan membicarakan hal yang menarik tanpa ada kekhawatiran
terkait virus di dalamnya.
Tulisan ini buat kamu yang kejadiannya
sama sepertiku. Mungkin tahun ini kamu baru bisa punya pekerjaan baru, atau
pencapaian baru, seperti kamu baru saja lulus, wisuda…. Tulisan ini juga untuk
kamu yang tahun ini punya rencana menikah, rencana berjalan-jalan jauh.
Kita harus sabar. Kita tidak
tahu apa yang akan terjadi nanti. Rencana Allah itu indah, dan kita harus
percaya.
Di lirik lain dari lagu yang sama dari Death Cab for Cutie, liriknya berbunyi “Kalau kamu menjadi tersangka dalam cerita hidup yang kamu tulis, sudah sangat jelas bahwa terkadang niatmu yang paling baikpun membutuhkan penebusan dosa.” Lirik yang ini justru seperti jawaban ketika aku telah bepergian di Jogja, meski niatnya bagus untuk bisa ngerasain hidup merdeka, tapi menurut perspektif orang lain mungkin aku lagi mensabotase hidupku, sedang menjadi villain kalau ikut kata lirik. Maka dari itu, niat terbaikpun bisa jadi salah dan menjadi dosa. Iya gitu kali ya. Toh tidak ada benar salah, yang ada hanya setuju atau tidak setuju.
Salam bahagia,
Aang~
Comments
Post a Comment