Panduan Ketika Kamu Melihat Temanmu dan Berpikir “Sialan Hidup Dia Kok Hebat ya, Sedangkan Gue Gini-Gini Aja”
Yup bener banget kalau comparison is the thief of joy. Kelamaan membandingkan diri dengan orang lain bisa saja membuat urutan basa nitrogen DNA kita berubah. Bukan lagi protein Adenin (A), Timin (T), Guanin (G), Sitosin (S). Tapi rantai urutan DNA-nya berubah menjadi I....R....I... Iya IRI.
DNA kamu |
Emang sih membanding-bandingkan itu sesungguhnya bawaan manusia loh (Galinsky & Schweitzer, 2015). Lebih sadisnya lagi, perbandingan sosial ini biasanya menjadi dasar pertimbangan kita untuk menentukan tingkat kebahagiaan kita~ Brengsek sekali bukan?
Percobaan ilmiah terhadap monyet capuchin yang dilakukan Frans de Waal dari Universitas Emory menunjukkan bahwa primata pun naturalnya memang hobi membandingkan diri dengan sejawatnya (link YouTube terlampir di bawah ya).
Eksperimen sederhana yang dengan menempatkan monyet dalam dua kandang berbeda sehingga bisa saling mengintip. Keduanya dilatih untuk menggunakan batu sebagai benda yang ditukarkan untuk memperoleh makanan. Monyet satu memperoleh timun, monyet lainnya memperoleh anggur. Awalnya monyet yang memperoleh timun, masih biasa saja. Tapi setelah mengecek kandang sebelah yang mana monyet tersebut memperoleh anggur. Monyet yang memperoleh timun geram dan melempari timun kepada peneliti. Seperti manusia, monyet juga lebih suka milih anggur yang mahal dan manis ketimbang ketimun yang hambar dan murahan. Hilih dasar monyet.
Poinnya adalah bahwa monyet pun menghakimi dirinya sendiri karena dia membandingkan dirinya dengan monyet sebelah. Sifat membandingkan diri dengan yang lain ini memang sebuah hasil evolusi yang menunjukkan bahwa kita mengevaluasi diri bukan dari hasil akhir dalam kesunyian masing-masing, tapi kita mengevaluasi diri dengan membandingkan proses yang kita lalui dengan orang lain.
Hal ini juga pernah aku tahu
ceritanya secara real, bahwa ada yang kerja di kampusku sudah lama sekali dia
menjadi asisten dosen, tapi belum diangkat-angkat jadi dosen, kemudian ada anak
baru masuk, dan menjadi dosen duluan. Kemudian si anak lama ini mungkin merasa,
ya sudah lah aing pergi aja kayanya butuh suasana baru. Padahal kalau ditinjau
ulang, si anak lama ini bisa saja menjadi dosen juga cuma tangga yang dia naiki
memang lebih panjang aja, sehingga waktu yang dibutuhkan lebih lama. Itu semua
karena apa? Iya betul saudaraku, karena membandingkan diri dengan si anak baru.
Memang kita sudah disetting
untuk membanding-bandingkan diri. Itu salah satu cara kita untuk memahami apa
yang terjadi di dunia ini kan? Misal mau travelling, terus mikir uang kita
cukup ga nih? Kemudian nanya dan bandingin sama temen. Kita butuh mobil baru
ngga ya, itupun setelah liat temen bawa mobil baru gils… kok super sekali~
Terus kalau yang udah punya anak, pasti stress sendiri ga sengaja melihat anak
tetangga ternyata rajin dan pintar.. Yang kaya gini susah juga objektif, secara
alamiahnya pasti membanding-bandingkan. Aku ingat dalam islam, ada yang dinamakan
Ghibthah, masih dalam keluarga iri, tapi jenisnya diperbolehkan.. pengertiannya
adalah iri hati atas nikmat yang dimiliki orang lain atau menginginkan
nikmat yang serupa, namun tidak disertai dengan harapan untuk nikmat itu hilang
darinya.
Ada juga istilah keren, coopetition,
yang merupakan gabungan dua kata yang saling kontradiktif: cooperation
dan competition. Lo bekerjasama, tapi juga lo bersaing. Iya, perbandingan
sosial yang sehat itu sungguh bisa memotivasi. Gitu… Nah di islam ini namanya al-hasadut
tanafusi, iri hati untuk berlomba meningkatkan kebaikan.
Penelitian dari Gavin Kilduff
yang bilang, kalau misalkan ada saingannya, orang tuh lebih perform. Beliau
meneliti kalau lomba lari, jika kamu datang dengan sainganmu, secara signifikan
kamu akan berlari lebih kencang, dan semakin banyak sainganmu, semakin kamu
berlari lebih lebih lebih kencang lagi. Jadi anggap orang yang awalnya kamu banding-bandingin
sebagai saingan, tapi di dalam persaingan itu juga kamu memotivasi diri.
Cuman kita sebagai manusia
harus tahu batasan, karena sungguh lah membanding-bandingkan diri itu bikin
nyesek. Kamu tau ga sih, ada gejala psikologis yang sering terjadi pada
Olimpiade. Orang yang memperoleh medali perak cenderung tidak puas dengan
dirinya, karena dia membandingkan diri dengan yang memperoleh medali emas. Sementara
itu, orang yang memperoleh medali perunggu cenderung lebih puas dengan
capaiannya karena dia membandingkan diri dengan yang juara empat dan seterusnya.
Padahal peraih medali perak kan ngalahin dia, tapi yang lebih puas justru
peraih medali perunggu~
Ya intinya kalau mau lebih
merasa santuy dan lega dikit, bandingkan dengan yang berkekurangan. Kalau mau
memecut diri untuk bisa berkarya lebih baik lagi, baru bandingkan pada yang
lebih dari kita. Jadi kalau lagi merasa, “sialan si itu kok hidupnya udah sukses
aja ya”, ingat kembali bahwa masih banyak yang jauh lebih susah dari kamu
sekarang. Dan ingat juga, dia bekerja keras untuk itu, pun kalau dia mendapat
privilege, sudah sudah, kamu ini sama aja kaya monyet capuchin emang!
Sabar mungkin ini eksperimen
Tuhan. Untuk tahu apakah kamu manusia yang paling baik amalnya, gitu kan kata
Surah Al-Mulk. Semoga yang aku omongin ini bisa bermanfaat, ngga hanya buat
aku, tapi juga buat kamu yang baca.
Makasih udah baca~ Semoga bukan onyet, wkwk
Salam kangen dari onyet yang sadar diri.. hehe
Comments
Post a Comment