Kemarin sempet sedih karena baca
postingan Washington Post terkait perempuan yang hidup sendirian di tengah wabah
ini. Alasan mereka hidup sendiri di tengah pandemic bervariasi. Ada yang terjebak
tidak bisa kemana-mana karena tengah bersekolah di luar negri, ada yang memang
single dan sulit mencari pasangan sebelum pandemi, ada seorang wanita karir, ada
seorang istri yang ditinggal pasangannya meninggal. Fenomena tersebut bukannya
tidak terjadi di Indonesia. Ibu kosanku masuk golongan wanita yang hidup
sendiri karena semua anaknya hidup berumah tangga lalu keluar dari rumah, dan
suaminya telah meninggal. Aku juga punya teman yang wanita karir hidup dari
kosan tanpa melakukan mudik terus-terusan bekerja.
Hari ini aku merasa tidak
cukup rasa syukurku akan apa yang Allah berikan padaku. Di tengah kengerian yang
bercampur dengan ketidakpastian, malam ini aku mempertanyakan apa yang
sesungguhnya penting di kehidupan ini. Kalau misalnya aku tinggal sendirian
tanpa siapapun di sampingku, apa yang paling aku inginkan untuk ada, apa yang paling
aku butuhkan, apa yang bakal bikin aku nangis merasakan gema kesendirian yang
sangat jelas nyaring? Semua jawaban di Washington Post mengarah pada indikasi
yang sama. Mereka semua menjawab relationship. Kemudian aku mempertanyakan,
apa betul hidup dalam kesendirian akan menyadarkanmu hal penting dalam hidup
itu adalah relationship, bukan uang, bukan ketenaran, bukan kekuasaan? Bukannya
aku bakal hepi kalau aku banyak duit dan bisa check-out-in semua barang
belanjaan di online shop-ku? Atau kalau aku tenar harusnya aku adem ayem dong
karena disayang banyak fansku? Lalu kalau aku punya kekuasaan, ah yang ini aku
tidak mau. Jelas pusing. Tapi mari kita bayangkan kekuasaan ini, hmm, anggap
saja aku adalah Putri Kasultanan, bukankah kalau aku punya kuasa, akan lebih
mudah menghadapi segalanya, hingga tidak perlu lagi itu relationship?
Memikirkan ini semua, lantas
aku berpikir, oke ditengah pandemi virus corona, kita sesungguhnya telah
bergulat dengan epidemi kesepian. Di Indonesia, pelajar SMP-SMA sekitar 6%
mengalami kesepian (Puslitbang Kemenkes, 2015). Sementara itu yang membuatku mengurut
dada, persentase lansia yang mengalami kesepian ringan mencapai 69% (Kemenkes, 2013). Bayangkan itu merupakan riset yang terjadi sebelum kegaduhan pandemi, ku
rasa saat ini persentasenya meningkat tajam. Hiks sungguh ini menjadi persoalan
tersendiri yang tak seorangpun peduli. Yang penting sehat fisik, kesepian yang
menggerogoti karena tak terlihat seringkali diabaikan.
Aku membayangkan nenek ataupun kakek yang hidup sendirian di kamarnya, atau bahkan di rumahnya yang luas. Mereka berdiam diri menunggu waktu berlalu. Apakah waktu terasa lama atau cepat? Apa yang mereka pikirkan ketika diam di kursi depan rumah yang mengarah ke halaman yang rimbun pepohonan itu?
Aku pernah merasa kesepian, tapi aku takut salah membedakannya dengan kesunyian. Mudah sekali aksesku pada dunia hiburan, bagaimana dengan orang-orang tua itu? Mungkin yang mereka lakukan hanya menyetel TV yang beritanya itu-itu lagi. Mereka pasti bosan.
Kurasa memang jika sudah lansia, mereka sudah seharusnya
tahu apa jawaban dari pertanyaan “apa yang sesungguhnya paling penting di kehidupan
ini?” Jika kelak ini semua usai, dan aku berkesempatan berbicara dengan orang
yang sepuh. Akan aku buktikan apakah benar relationship itu terpenting?
What is it like being old and lonely? |
Kelak jika aku sudah mencapai umur tersebut, akan kutulis ulang postingan ini dan akan kuberitahu padamu. Yang jelas saat ini yang paling penting menurutku bukanlah relationship, tapi kesehatan. Dan mungkin memiliki relationship adalah upaya menjaga kesehatan~ Logikaku sih begitu. Di tengah pandemi mencoba waras dalam menjawab pertanyaan yang kuajukan sendiri, ternyata sulit juga..
Apa yang menurutmu sungguh penting di kehidupan ini? Ayo cepat jawab yaaa..
Semoga kita bisa memperoleh dan menjaga apa yang penting tersebut~ 😚
Comments
Post a Comment