Skip to main content

Krisis Data Indonesia

Disclaimer: tulisan kali ini akan terkesan seperti racauan seorang pekerja yang mainannya data.

Saya ingat di setiap meeting selalu terselip persoalan ‘betapa data kita berantakan.’ Overlap antar institusi. Banyak data yang tidak relevan. Menggunung data yang tidak terupdate. Pun data yang terupdate, belum bisa dijamin validitasnya. Jangankan mau minta real time, ada data bener aja udah alhamdulillah puji syukur.

Contoh saja untuk kasus yang baru-baru ini mencuat yakni data bantuan sosial yang terdampak covid-19. Lalu yang paling hangat hari ini adalah terkait data kapasitas Laboratorium Kesehatan Daerah. Padahal gema integrasi data ini sudah digaungkan sejak kata ‘data’ ditemukan. 

Prosesnya kan gini... Data ini diolah, distrukturkan, dikategorisasi, dan dideskripsikan agar menjadi informasi. Lalu, informasi dipisahkan mana yang berguna dan tidak untuk menjadi what so called knowledge. Dari knowledge berkembang lagi menjadi ‘insight’, intinya seperti highlight dari knowledge tersebut, yang kalian stabiloin kalau lagi belajar baca buku itu loh. Insight pun diperas sedemikian rupa dengan argument sengit di meja-meja pengambil keputusan sehingga lahirlah kebijakan. Atau kalau menurut piramida di bawah ini wisdom/kebijaksanaan. Kalau kebijakan lebih ke tools untuk inisiasi tindakan ya..


Source: Cannas et al (2019)

Ketika saya disuguhi berbagai model tentang covid-19 di Indonesia, saya tahu banget yang harus langsung ditanya itu datanya darimana, skenario dan asumsinya gimana. Tapi terkadang jawabannya membuat sangsi, rasanya ingin berkata “eh yawdalah skip aja.”

Saya sendiri masih suka menafsirkan sebenarnya apa tujuan data-data itu berkeliaran kalau saya sulit percaya. Apakah data ini hanya konten marketing bahwa pemerintah telah melakukan sesuatu loh. Untuk memberi ketenangan hati? Untuk mengumumkan pada negara lain bahwa kita baik-baik saja dan ‘beruntung’?

Saya tahu data di hulu dan kebijakan di hilir, tujuannya kebaikan. Saya juga bisa bilang data make me feel something atau data teach me something. Contohnya aja kurasi data yang terdapat pada infografis yang menjadi platform pemersatu bangsa, thanks karenanya sikap pro kontra menjadi terkoordinir. Sebenernya kalau mau lebih teoritis, harusnya semuanya dibuat tiga skenario: yang pesimistis, moderat dan optimis. Tapi seringnya….data pun menjadi komodifikasi politik.

Infografis ini kan biasanya memvisualisasikan informasi dan data ya. Infografis yang baik bisa membuat pembaca menghemat waktu, dengan sekali tatap langsung paham dan memperoleh bit-bit pentingnya. Tapi masalahnya adalah, kadang saya sendiri kalau lihat sajian infografis, ingin mikir “Apakah pertanyaan yang diajukan sudah benar?”

Jadi ketika seseorang punya data yang melimpah, permasalahannya adalah sudahkah pertanyaan yang diajukan benar. Sedih juga kalau data menjawab pertanyaan yang salah. Jelas jawabannya jadi ikutan salah. Disitulah dimana data bisa berbahaya. Iya, membuat data menjadi valuable insight ini memang sangat menyita waktu. Ah memang nampaknya krisis data ini kian kemari kian terasa. 


kamu tanpa data hanya sebuah bacot.

Pusing juga ya menjadi manusia yang make otaknya. Pusing karena mungkin belum siap. Pusing karena memang masih banyak yang harus dipelajari. Semoga dan semoga kelak kita bisa sampe pada strata data yang bisa bicara sendiri tanpa harus kita bunyiin, datakrasi. Ketika data bertemu dengan demokrasi. Mari membicarakan hal tersebut besok atau lain waktu. Sambil ngopi yaa gaes! Udah kangen banget akutuh tau ngga...

Salam rindu yang menggelora slalu,

~Aang~

PS. Kadang aku ingin sekali putus dengan diriku sendiri, karena ia terlalu banyak berpikir. Jawabannya bisa jadi sangat sederhana, tidak perlu data-data’an, begitu darah Indonesiaku berteriak dan mengecam. wkwk hufts

Comments

Popular posts from this blog

Cara Perempuan Jepang Membuang Bekas Pembalut

Selama hidup di Jepang, hal yang paling berkesan untukku adalah tiada hari berlalu tanpa pembelajaran. Bahkan ketika aku di rumah aja ngga ngapa-ngapain, aku tetap dapet pembelajaran baru. Jadi suatu pagi… aku lagi di apartemen aja kan biasa pengangguran laten [ gaya abiesz, bilang aja kosan Pak Ruslan versi fancy wkwk ], dan temen sekosanku yang orang jepang, dia nyimpen bungkus pembalut di kamar mandi. Hmm oiya kita tuh kamar mandinya shared, cuma beda kamar bobo aja. Jadi dia narohnya di salah satu papan yang ada di atas WC duduk gitu, biasanya di papan tersebut kita simpen tissue cadangan atau pengharum ruangan di situ. Oke dia lagi menstruasi. Tapi ini untuk pertama kalinya aku nemuin sampah yang digeletakin gitu aja. Nah, buat kalian yang ngga tau pembungkus pembalut yang mana, ini aku sertakan gambar… karena kebetulan aku lagi rajin dan lagi mens juga. Jadi ini pembalut… Dan ini bungkusnyaaa… yang mana tergeletak di WC tadi. Aku langsung bingung, ih tumben banget kok ngga ...

Kentut

Saya pernah nonton variety show-nya Negri Gingseng, Hello Counselor . Acaranya membahas problematika, kesulitan, dan penderitaan seseorang. Kind of curhat, but the problem usually soooo silly and weird, you can’t even imagine. Disitu ada host sama penonton. Host berfungsi juga sebagai panelis tanya jawab tentang permasalahan tersebut. Tanya jawabnya dua arah, dari sisi yang punya masalah dan yang jadi biang masalah. Hingga pada satu titik mereka coba memberi solusi. Terus penonton ngejudge itu masalah bukan untuk kemudian voting. Nah yang paling banyak dapet vote , nanti dapet hadiah. Ada satu episode yang menarik yang melibatkan hal paling manusiawi : kentut.

Entry 5 - Gratitude Journal: Wished

What is something that you have now that seemed like a wish back then? The first thing that comes to my mind is the freedom to do anything.  Hal yang tampak seperti mimpi dulunya adalah melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa. Beberapa di antaranya merupakan adegan berbahaya yang hanya bisa dilakukan oleh ahli. Hal seperti bepergian sendiri kemanapun, membeli barang-barang lucu yang diinginkan, bahkan berpikir hanya untuk diri sendiri. Aku tidak tahu kenapa kota tempatku tinggal,  Karawang disebut Kota Pangkal Perjuangan, tapi aku cukup tahu semua orang di sini memang bergelar pejuang. Menjadi dewasa artinya bergerak menjadi seorang yang berjuang. Dulu semuanya diperjuangkan oleh orang lain tanpa kita maknai. Sekarang aku tahu betapa lelahnya itu, tapi tidak ada seorang pun bertanya, karena semua orang ingin beristirahat juga. Aku suka menjadi dewasa karena hal-hal yang tidak terlihat ketika aku kecil, sekarang semuanya nyata. Sayangnya, kita semua mend...

Rethinking about Value

Setelah baca bukunya Matt Haig, aku baru ngeh.. beliau itu pemikirannya sedikit banyak mengurai apa yang muslim harus tahu. Salah satunya adalah tentang VALUE. Selama ini, kupikir value itu konsep yang diciptakan dan dikembangkan manusia untuk menjadi manusia yang diterima secara sosial, atau paling nggak menjadi manusia yang bisa membanggakan seseorang yang dicintainya. Misalnya aja, seseorang dianggap memiliki value ketika ia bertanggung jawab, punya integritas, punya kepribadian yang unik, punya passion yang diperjuangkan, punya ketangguhan dalam menghadapi gempuran masalah, dll dll. Semua itu.... dilakukan demi ayang. HEH bukan. Yaaaa maksudnya semua itu dilakukan demi menjadi manusia yang 'desirable' atau paling nggak 'acceptable' lah yaa.. Makanya orang tuh harus terus berusaha untuk mengenali dirinya, supaya tahu value apa lagi nih yang harusnya ada di dirinya, yaa biar bagusan dikit jadi manusia. Atau value apa yang harus di-achieve biar bisa so emejing like yo...