Pertengahan Maret 2020, masih bisa pergi ke warung kopi dan
meminumnya di lokasi. Setelah ada kasus pertama positif covid-19, kehidupan
tidak lagi berjalan normal sebagaimana apa yang terjadi sebelum pertengahan
Maret 2020. Ketakutan demi ketakutan. Kekhawatiran demi kekhawatiran. Rasa
cemas demi rasa cemas. Datang dan pergi. Pun dengan berkah dan hikmahnya.
Datang dan pergi.
Hari ini, 5 Mei 2020, salah satu Legenda Indonesia pergi. Pak Dhe
Didi Kempot. The Godfather of Broken Heart. The Maestro of Sobat Ambyar.
Mendengarkan playlist Kerja Tengah Malam yang isinya dangdut, campur sari dan
karya Sang Maestro tak akan terasa sama lagi. Rasanya akan lebih perih.
Terutama hari ini. Lagunya Pak Dhe yang paling aku suka itu, Tatu. Artinya
Luka. Didengerin terus selama bulan April ini. Kenapa lagu itu berkesan? Karena
lagu itu pas banget sama yang aku rasakan. Apalagi pas lirik
“Senajan aku lara, ning isih kuat nyonggo. Tatu
sing ono ndodo. Perih rasane yen eling kowe. Angel tambane.” ~ ~~ ☹
(((Pancen mak tretep atikuuu iki)))
April 2020 memang berasa banyak masalah yang bikin luka. April
memang aku sudah ada di rumah. Jadi lebih tentram hati ketika dekat dengan
orang yang dicintai. Tapi kekhawatiran tak beralasan karena overthinking selalu
ada. Bersama salah dua sobat ambyar kesayanganku, Kak Acha dan Siro, kita
sering berbagi apa saja ketakutan yang kita hadapi. Seringkali semuanya adalah
tentang KETIDAKPASTIAN. Yup ketidakpastian mengenai masa depan.
Awal tahun 2020, aku bisa menyimpulkan bahwa ketidakpastian membuat
kita ragu untuk melangkah melakukan hal-hal besar. Dan juga bisa membuat kita
terus berpegang pada hal-hal yang sebenarnya toxic, menyakitkan dan melukai.
Bukankah banyak yang stay di kerjaan yang tidak disukai karena takut berisiko gagal
di kerjaan yang baru. Bukankah banyak juga dari kita yang terus-terusan
disakiti pasangan dengan alasan udah sayang hubungannya udah lama dan udah
saling kenal banget. PRETTTT.
Iya, sobat-sobat ambyarku. Aku lagi ngomongin tentang kita semua.
Lantas, bagaimana caranya berdamai dengan semua itu?
Aku, Kak Acha dan Siro sempet ambyar bareng karena ketidakpastian
ini. Mulai dari hal remeh seperti “ini hidup kita kok gini-gini terus ya? Ga
ada kekasih. Ga kaya-kaya banget. Ga solehah-solehah banget”, sampai akhirnya
bersedih hati karena merasa durjana dan nista.
Saat itu mungkin kita sedang larut dengan kemalangan yang tak habis-habis hingga sulit berpikir jernih. Hari ini, dengan kepala dingin, aku akan mencoba memahaminya. Pertama, kita mulai dari pertanyaan “darimana datangnya ketakutan akan ketidakpastian masa depan?” Dengan segala kewarasan yang tersisa, aku pikir secara naturalnya seharusnya kita ngga perlu takut sama ketidakpastian ini, bahkan ketika kita tidak tahu apa yang akan terjadi kelak.
Toh, di masa depan ngga akan lebih menyakitkan atau lebih buruk dari apa yang telah terlalui sekarang. Sepertinya begitu sih kalau nerawang-nerawang.
Probabilitas kita meninggal karena virus memang lebih besar hari
ini, atau bulan-bulan ini. Tapi probabilitas kita meninggal itu satu. PASTI.
Secara matematis faktanya lebih menenangkan lagi, peluang kita mengalami kecelakaan pada
esok hari tidak lebih besar dari peluang kita mengalami kecelakaan hari ini. Dengan
logika yang sama. Peluang terjadi sesuatu yang baik di minggu depan sama
besarnya dengan peluang terjadi sesuatu yang baik di minggu ini.
TEROSS KENAPA TAKUTTT? Kenapa tidak mengetahui yang pasti itu
menakutkan? Kalau kita lempar dadu, dan ga tahu hasil lemparannya seperti apa,
takut nggak? IYA BETUL!!! Bukan “ngga
tahu” nya yang jadi persoalan. Melainkan kemungkinan bahwa hasil yang muncul
akan membawa kita pada rasa sakit, penderitaan dan kehilangan.
Memang selama ini kita sering hidup kaya kepompong, diselimuti oleh
lingkungan yang membuat merasa aman, dikelilingi orang-orang yang membuat kita
merasa akrab, dipeluk oleh rutinitas yang kita bangun sehingga keenakan dan
nyaman. Kehilangan ini semua tentu aja rentan membuat kita terpapar perubahan,
kegagalan, rasa sakit, dan itu menyeramkan. Jadi….perubahan itu bukan
permasalahan yang sebenarnya, gaes.. Yang kita takutkan itu tentang ngelawan
perubahan, tentang ketakutan pada apa yang dibawa perubahan, tentang ketidakmauan segala
sesuatu menjadi berbeda.
Kalau ditelusuri sampai sini, rasanya untuk meminimalisir kepastian
itu bukanlah mencari kepastian. Tapi BERANI MENGHADAPI PERUBAHAN. Ya, meskipun
aku sama dengan kebanyakan gadis planet bumi yang butuh kepastian. Tapi jago
dalam berubah dan menghadapi perubahan adalah hal baik yang harus kita
utamakan. Pertama emang harus berani sih. Niscaya. Suatu titik pasti akan enjoy.
Lah terus gimana caranya biar berani menghadapi perubahan?
Sobat ambyar yang dimuliakan Allah, ini juga yang terus harus
diasah. Karena tiap malem aku kadang suka overthinking, aku rasa harus terus berusaha untuk
menanamkan mindset sehat tentang perubahan dan beberapa pola hidup baik harus terus dipraktekkan.
HMMM… Aku jadi ingat mantra yang sering aku ulangi ketika aku akan
menghadapi momen hidup yang nyeremin (kaya sidang, ujian, ataupun abis putus),
aku bilang sama diriku “oke ang, skenario paling buruk apa yang bisa terjadi?
Iya… Lo meninggal dunia, trus bye dikubur. Jadi ga usah takut sama hal sepele ini, Lo pasti bisa ngadepin ini.”
Pun kita harus paham bahwa dalam kegagalan, ada sarana pembelajaran,
pertumbuhan dan keajaiban yang tak disangka.
Satu lagi yang penting: back up plan. Hal ini semacam rencana
kalau misalkan segala sesuatu runtuh dan benar-benar gagal hancur
berkeping-keping. Orang tuaku bilang, kamu harus ingat kalau segala sesuatu
tidak berhasil, tidak apa-apa, kamu masih punya tempat kembali untuk pulang,
RUMAH. Iya, kita harus memiliki sahabat atau keluarga yang bisa kita
hubungi ketika darurat. Tapi, kuncinya ada di kita sih, tentu saja harus punya
keterampilan, apapun itu. Untuk bisa berdiri lagi. Karena kata Pak Dhe, “Sing
uwis ya uwis, tetep kerjo lho ya. Sebab urip ora iso diragati nganggo
tangismu”~~~ ☹
Sugeng tindak, Pak Dhe. |
Oh ini juga penting, aku baru ngeh tahun lalu. Tahun lalu aku sadar dari seorang turis asal Korea yang sekarang menjadi kawan. Kita seharusnya belajar cara berteman dengan orang asing, ya ngga harus orangnya impor juga. Tapi semakin kesini, semakin aku merasa kalau berteman dengan orang baru emang sulit banget. Kucurigai ini karena sudah mengecap pahitnya hidup ya yang membuat jadi selektif dalam memasukkan orang dalam hidup kita. Atau emang udah males aja skip ah asli ga ada waktu dan energi. Iya, pokoknya harus belajar memperoleh teman baru di kota-kota yang terasa asing bagi kita.
Apalagi ya? Mungkin dengan benar-benar objektif sama diri sendiri. Harus benar-benar mampu menilai dengan cermat. Kenapa kita cenderung tidak mau berubah, dan mungkin sebagai analis data, saranku bisa sih dilakukan cost benefit analysis. Meneliti sisi baik dari perubahan dan memahami sisi buruk dari stay di kubangan yang sama. YA minimal SWOT lah situuuu. Ini lama-lama tar aku jadi makin ilmiah ngomongnya kalau udah bawa-bawa teori. Mari sudahi dulu ya.
Akhir kata, mau mengutip apa yang Pak Dhe bilang, “Opo wae sing dadi masalahmu, kuwat ora kuwat kowe kudu kuat. Tapi misale kowe wis ora kuwat tenan, yo kudu kuwat.”
Cukup sekian. Pamit mundur, gaes.
Salam dan peluk untuk sobat ambyar seluruh dunia,
Gadis Ambyar Favoritmu 💞
Comments
Post a Comment