Sebenernya aku bukanlah orang
yang suka menyuarakan opini terkait arus utama politik dan kelakarnya.
Menurutku, biarlah para ahli yang mengurusnya, yang memang bersekolah tinggi
dan paham betul terkait kebijakan dan tata kuasa. Namun, akhir-akhir ini tidak
bisa tidak, mengingat bahwa cocote netizen mampu membahanbakari semangat untuk
memberi pengaruh pada tampuk pemerintahan. Kebijakan saat ini bergerak dari
analisis sentiment yang ada pada pemegang handphone dan mengetik isi
pemikirannya secara publik. Maka dari itu, aku mulai merasa bahwa diam bukan
lagi pilihan. Harus berani menyerukan isi hati. Meski isi hati kadang miskin
teori. Tak apa~tak ada yang peduli! Memang saat ini terlalu banyak orang
beropini padahal sedikit sekali pengetahuan mereka akan hal tersebut. Dan
kecenderungannya justru orang-orang yang tak seharusnya beropini yang lantang
bersuara.
Jujur saja, banyak sekali
persoalan di Indoenesia yang benar-benar membuatku berpikir “IHHHHHHHHHHHHH
GILAAAAKK!!!! MASAAAA GITUUUUU SIHHHH~” Belakangan ini karena aktif di
twitter, ternyata memang panggung orang bodoh itu setiap hari selalu ada yang
pentas. Entah memang kebodohannya murni tanpa bahan kimia, atau juga yang
kebodohannya tidak sengaja, yang ujungnya malah terkesan gimmick dan lagi-lagi,
kebodohannya natural seperti cewe tanpa make up~ Dagelannya bisa dari
pemerintah, rakyat sipil atau bahkan perusahaan swasta. Semua tak luput dari
pengawasan netizen yang Budiman.
Salah satu yang paling
mencolok di Indonesia dan semua negara adalah adanya perdagangan agama dalam
sendi berpolitik. Agama entah mengapa seperti komoditas bisnis. Meski terjadi persaingan,
pasarnya toh selalu meningkat, ceruknya sangat berpotensi high profit. Belum
lagi dengan ongkos produksi yang nol itu. Tidak ada produk fisik, biaya
logistik, dan biaya kerusakan serta lala lili lainnya. Anehnya lagi, kalau
dipikir-pikir, yang jualan agama ini, semakin beliau-beliau menyalahkan
customer agama tersebut, mereka cenderung semakin loyal pada agama tersebut.
Hal ini sudah diprediksi Karl
Marx dengan postulatnya yang berbunyi agama itu bak candu. Mungkin benar jika
agama adalah pelarian manusia dari realita hidup. Meski menurutku, tidak
seharusnya begitu. Seseorang harus tetap memproses informasi dengan segala daya
upaya yang menjadikan manusia manusia: berpikir. Beberapa manusia tidak
berpikir sedikitpun hingga menolak nasehat saintis. Manusia lainnya lantang
menggemakan teori konspirasi, agama bumi datar dan bahwa virus itu tidak
berbahaya. Manusia-manusia ini merasa seolah dirinya Nabi yang membawa sabda
paling benar. Manusia yang kemudian menjadikan kebodohan sebagai agamanya.
Kadang aku rasa para iblis di
pojokan sedang menggerutu “TUH KAN APA GW BILANG MANUSIA TUH EMANG SEBAIKNYA
GAWSA DICIPTAIN AJAA.!!!!!!!”
Iya saya paham, bahwa akhir-akhir
ini, virus covid-19 ini bukan hanya virus yang menyerang kesehatan manusia.
Tapi ia berubah menjadi virus ekonomi, virus politik, bahkan kini virus mental.
Maka semuanya sudah seharusnya harus diperangi.
Sangat wajar jika semua orang
merasa sangat bingung, takut dan marah. Tapi tentu saja hal tersebut tidak bisa
dijadikan alasan untuk kita sebagai manusia menjadi seorang yang menebarkan
keburukan dan kebencian.. Apalagi yang menyebarkan berita yang salah dan berdampak
tidak baik bagi keberhasilan kita menumpas virus ini.
Makanya mungkin memang betul
apa yang Pak Ridwan Kamil jalankan sekarang, adanya kebutuhan akan solidaritas
sosial. Kita harus percaya bahwa secara fitrah, manusia telah memiliki kompas
moral yang mampu membimbing di persimpangan baik buruk, benar salah, adil
culas~ Iya kompas itu adalah hati kita. Untuk keluar dari krisis ini, untuk
membawa the greater good, untuk akhirnya find the light at the end of the
tunnel, dan tentu saja untuk membawa kita lulus ujian kualitas diri dengan amal
yang paling baik~
Solidaritas
sosial bisa diwujudkan dengan peduli, berbagi dan menahan diri. Karena virus tidak mengenal kata
toleransi. Ia menguji kita
semua, tanpa memandang siapa. Ancaman kelaparan dan potensi tingginya
kriminalitas, semua masalah itu membutuhkan dukungan warganya. Partisipasi
aktif sekaligus solutif menjadi lebih bermakna ketimbang hanya suara… Beban
negara saat ini memang begitu berat. Memang ini semua hanya sebuah keluhanku,
tapi semoga seperti pembicaraan di awal. Bahwa keluhan netizen adalah latar belakang sebuah kebijakan…
Semoga kita bisa disiplin,
karena siapa yang tidak lelah melihat Pak Yuri tiap sore berganti-ganti batik
dan masker dengan nada bicara yang makin lama makin syahdu. Bukankah kita semua
telah merindu untuk bilang OTW padahal masih rebahan. Dan bukankah kita semua
rindu bilang “eh karcis parkir di lo kan?” hhahahah~
Hai untuk kamu, hari ini
izinkan aku mengeluh. Karena hari ini kamu aku percayai untuk bisa menjadi
lebih sabar. Hehe.
![]() |
Yok bisa yok DISIPLIN!! Jangan lupa solidaritas sosialnya kakak! |
Makasih ya udah mau baca. Kamu keren deh :)
Salam kangen paling berat,
-aang-
Comments
Post a Comment