Skip to main content

Ramadhan Keenam

Ramadhan kali ini akan jadi ramadhan keenam saya di Bandung. Lima ramadhan ke belakang saya berada jauh dari rumah karena kuliah. Saya ingat ramadhan kelima adalah saat dimana sibuk-sibuknya mau sidang. Masih jelas dalam memori, munggahan bareng sama Intan, Griya, Siska, dan Aini. Karena kami semua rindu masakan rumah, kami main ke pasar untuk belanja dan masak bareng. Pepes tahu, tumis kangkung, ikan asin, dan sambel. Sedih mengingatnya karena kami udah kayak TKI gitu, ngga bisa pulang padahal ingin..ingin..ingin sekali..tapi punya janji yang harus dilunasi. Belajar buat persiapan sidang.
Kalau mau egois sih bisa saja pulang. Siapa sih yang ngga rindu dibangunkan ibu ketika sahur, bukan bangun sendiri dan masakan udah tringgg ada di meja. Siapa yang ngga kangen nonton acara sahur bersama, sebenernya ngga ditonton karena acaranya biasa aja tapi TV harus tetap disetel. Siapa yang tidak berhasrat membaui harum masakan ibu menjelang maghrib, so’ serius menonton kultum padahal yang terus ditonton adalah petunjuk waktu adzan di pojok kanan bawah TV. Siapa yang tidak merana mengingat momen jalan kaki bersama keluarga untuk tarawih berjamaah di mesjid. Dan kemudian itu semua ditutup oleh lebaran bersama.
Kami semua ingin mengulangnya. Tapi ramadhan mendewasakan kami dan memberikan kami keluarga baru. Kalau ada yang tanya bagaimana rasanya ramadhan di Bandung. Saya bilang sih, rasanya beda kalau kamu ngga punya keluarga.
Saya jadi ingat ramadhan pertama saya di Bandung. Saat itu sedang ospek, ngga kenal siapa-siapa. Buka sendiri. Sahur sendiri. Ibadah tarawih sendiri. Memang menyedihkan, sampai rasanya seperti mati rasa. Semuanya berlalu begitu saja. Semenjak itu ramadhan ngga pernah terasa sama. Dan bersama keluarga rasanya seperti harta yang ngga bisa saya beli. Entah saya atau ramadhan yang berubah, tapi ada yang terasa berbeda.
Ramadhan tahun kedua, ketiga dan keempat selanjutnya diisi dengan kesabaran. Porsi kesabarannya mengecil karena kekhawatiran-kekhawatiran dan kesendirian-kesendirian itu akhirnya terbagi dan terlupakan oleh adanya kesibukan dan sahabat-sahabat baru. Saya menemukan keluarga baru yang tak terikat oleh darah, yang kita miliki hanya kesamaan penderitaan dan kemauan untuk saling berbagi. Ada sahabat kental saya; Widya, Farida, Siwi, Intan, Kak Acha, Teh Mila, Griya, Aini, Siska, temen-temen KKN, temen-temen kelas. Udah mirip sama lembar terimakasih skripsi nih..
Saya merasa kehadiran ramadhan selalu diiringi dengan melankolinya, tentang rumah dan keluarga. Ini akan jadi ramadhan saya keenam di bandung. Dan yang keenam ini mengingatkan saya pada yang pertama. Kali ini kondisinya lebih baik. Personil keluarga saya tidak berkurang. Mereka hanya berada di tempat dimana mereka seharusnya berada.
Dua sahabatku masih setia menemani di Bandung. Griya yang sedang mempersiapkan studi lanjutnya, dan Intan yang mengusahakan sidangnya. Kalau Bandung adalah sebuah kaleng kue, kami bertiga adalah remah-remah kue yang tersisa, yang menempel di dasar permukaan. Ngga ada yang tahu kalau kami masih disini, teronggok gitu aja nunggu dijilatin ama lalat. Astagfirullah, kami sudah mandi kok.
Sekarang tiap kami bertiga kumpul bersama, lelah tergurat di wajah kami, dan rindu menumpuk berkali lipat dari lima tahun lalu. Daftar keluhan bertambah panjang. Salah satunya tentang sahabat-sahabat kami, yang ada di rumahnya tapi juga merindukan rumah yang lain. Dan kami menertawakan momen kesedihan ini. Kami saling tatap. Kami di rumah, tapi juga merindukan rumah-rumah lain yang pernah menjadi rumah kami.
Ingin kukatakan satu hal pada mereka. Keluargaku yang juga sahabat-sahabatku aku minta maaf, kalau dulu ketika ramadhan aku belum bisa menghargai waktu yang kuhabiskan bersamamu. Harusnya aku lebih banyak mendengarkanmu, tersenyum bersamamu, bertanya tentang hidupmu lebih sering, dan menyatakan bahwa apa yang kita jalani ini baik dan aku berterimakasih akan kesempatan mengenal orang yang sepertimu.
Mungkin ramadhan ini yang bisa dilakukan hanya berdo’a semoga keberkahannya mempertemukanku pada orang-orang yang tulus dan hebat seperti kalian. Aku juga mendo’akanmu, semoga ramadhan ini orang-orang yang bersamamu mampu mendewasakanmu dan selalu memilihmu menjadi rumahnya.
Selamat menjalani ibadah puasa tanpaku, aku siap menjadi rumahmu lagi..dan lagi..kalau ada waktu mari kita berjumpa dalam bulan suci dan membicarakan tentang betapa indahnya kenangan kita dulu.

-


Comments

Popular posts from this blog

Cara Perempuan Jepang Membuang Bekas Pembalut

Selama hidup di Jepang, hal yang paling berkesan untukku adalah tiada hari berlalu tanpa pembelajaran. Bahkan ketika aku di rumah aja ngga ngapa-ngapain, aku tetap dapet pembelajaran baru. Jadi suatu pagi… aku lagi di apartemen aja kan biasa pengangguran laten [ gaya abiesz, bilang aja kosan Pak Ruslan versi fancy wkwk ], dan temen sekosanku yang orang jepang, dia nyimpen bungkus pembalut di kamar mandi. Hmm oiya kita tuh kamar mandinya shared, cuma beda kamar bobo aja. Jadi dia narohnya di salah satu papan yang ada di atas WC duduk gitu, biasanya di papan tersebut kita simpen tissue cadangan atau pengharum ruangan di situ. Oke dia lagi menstruasi. Tapi ini untuk pertama kalinya aku nemuin sampah yang digeletakin gitu aja. Nah, buat kalian yang ngga tau pembungkus pembalut yang mana, ini aku sertakan gambar… karena kebetulan aku lagi rajin dan lagi mens juga. Jadi ini pembalut… Dan ini bungkusnyaaa… yang mana tergeletak di WC tadi. Aku langsung bingung, ih tumben banget kok ngga

Ada Apa dengan Mas-Mas Jawa?

Kalau kamu adalah seorang perempuan, apa yang terlintas di benak ketika mendengar kata ‘Mas-Mas Jawa’? Apakah seksi, idaman, gagah, karismatik terlintas meski hanya sekilas? Tak dipungkiri lagi mas-mas jawa adalah komoditas utama dalam pencarian jodoh. Cewe-cewe entah kenapa ada aja yang bilang, “pengen deh dapet orang jawa.” Alasannya macem-macem mulai dari yang sekedar impian masa kecil, pengen aja, sampe dapet wangsit dari mbah Jambrong. Saya ngga ngelak, pria jawa memang identi dengan kualitas terbaik. Mungkin Abang, Aa, Uda, Bli, Daeng, atau Bung juga suka merasa daya saing di pasar rendah, apakah dikarenakan passing grade Si Mas-Mas tinggi? Atau karena ada quality control sebelum masuk pasar? Hmm. Mari disimak beberapa hal yang membuat mas jawa menjadi undeniable (ngga bisa ditolak) 1. Killer smile Mungkin tatapannya orang Jerman atau seringainya kumpeni itu bisa membunuh. Tapi untuk seorang mas-mas jawa, yang membunuh itu senyum. Bikin klepek-klepek. Takar

Apakah menulis essay dengan bantuan bot itu etis?

Beberapa hari lalu sempet liat postingan di twitter mengenai bot yang bisa menulis essay , konon… bisa mempermudah pekerjaan mahasiswa. HAHAHA. Sebagai seseorang yang bekerja di lingkungan akademisi, cuma menggeleng kepala. Hey nanti kalau pekerjaan kamu di masa depan diambil alih bot, jangan salahin bot-nya ya! Kan emang bot nya toh yang selama ini belajar. Sungguh terlalu, Martinez! Martinez siapa ang? Gatau…. Pengen aja mencela, tapi ga mungkin mencela menggunakan nama Bambang, karena itu nama dosenku ☹ Berdasarkan taksonomi Bloom, mensintesis atau create itu letaknya pada hirarki paling tinggi. Jelaslah kalau menciptakan tulisan yang berisi ide, gagasan dan mensistemasinya dalam kesatuan paragraf bukan sembarang yang mampu melakukannya. Diperlukan kemampuan berpikir level yang tinggi atau high order thinking skill . 😙 Meskipun entah kenapa menurutku, essaybot ini keliatan banget bot nya. Tulisannya ga punya sentuhan manusia, kaya ga punya hati.. WOW itu tulisan apa mantan deh

Bumiayu

Welcome to the beautiful earth! Bumiayu. Back then I used to speak flawless javanese. But now, you can’t even tell that i ever had medok accent (aku ora ngapusi iki). Bumiayu was the first place I learned about manner and etiquette. Javanese have different level of politeness in their language. They have kromo javanese and ngoko javanese. Kromo javanese used to talk with the elderly and someone that you should respect, whereas ngoko javanese is used when you’re talk to your friend or your junior. The same thing happened with Japanese and Korean. They do had formal and informal language.