Skip to main content

Saat Aku Kecil

Aku masih bingung darimana aku dilahirkan. Aku bertanya pada ibuku, aku memanggilnya mamih. Tidak ada orang yang mengajariku untuk memanggilnya mamih, aku juga lupa bagaimana awalnya hingga sekarang panggilan itu melekat dan aku terbiasa. Aku bertanya pada mamih.

“Mih, aku lahir darimana sih?”

Mamih hanya tersenyum. “Nanti kalau kamu sudah besar, kamu akan tahu sendiri.”

Itu membuatku semakin penasaran. Kenapa harus menunggu aku besar, dan dari siapa aku akan tahu. Aku mencari lubang yang mungkin, dan satu-satunya lubang yang ku tahu adalah anus. Polosnya. Aku lantas berpikir, aku lahir bersama kotoran. Aku juga sedikit takut bagaimana jika suatu saat aku buang air besar yang kukeluarkan adalah bayi. Pertanyaan selanjutnya adalah aku bingung bagaimana aku bisa terbentuk. Guru agamaku saat itu menjelaskan bahwa manusia tercipta dari tanah. Aku mencari tanah lempung, kubentuk menjadi orang-orangan, tapi aku bingung kenapa tanah lempung itu tidak bisa berubah wujud menjadi sepertiku, manusia. Dan kalau memang dari tanah, kenapa bisa ada di dalam perut manusia?

Kebingungan-kebingungan ini kubicarakan bersama teman-teman sebayaku. Aku ingat salah satu dari temanku bilang kalau bayi itu keluar dari perut Ibu yang dibongkar. Perut itu, diiris menggunakan pisau dan dijahit kembali dengan benang. Pisau yang ada dikepalaku saat itu adalah pisau dapur, dan tentu saja menjahitnya dengan benang yang biasa dipakai saat menjahit pakaianku yang sobek. Aku ngeri sendiri.

Aku ingat saat aku jatuh dari sepeda dan lututku mengeluarkan banyak darah, rasanya sangat perih. Saat kejadian itu berlangsung aku tidak menangis, aku hanya meringis, memapah sepedaku dan memegangi sekitar lututku yang tidak ikut terluka. Sampai di rumah, dan dimarahi Mamih, aku baru menangis. Aku terluka dan berdarah, lalu aku diomeli, disuruhnya aku berhati-hati, dikatainya aku ceroboh. Aku menangis karena aku kesal. Aku juga tidak menghendaki aku jatuh, tapi itu yang terjadi. Darah itu dibersihkan, rasanya sangat sakit. Bahkan ketika luka itu mengering, itu menjadi gatal dan aku ingin sekali menggaruknya, tapi nanti mamih akan memarahiku lagi. Itu yang membuatku benci untuk berdarah, selain sakit, aku juga akan kesal karena dimarahi. Tapi siapa yang akan memarahi mamih ketika aku dilahirkan? Apakah nenekku? Lalu penderitaan macam apa yang telah dilalui seorang ibu saat melahirkan bayinya?

Aku terus saja bingung karena aku ingin mengerti dengan detail dan jelas. Kenapa anak-anak tidak diizinkan sekedar tahu? Apakah anak-anak lain juga ingin mengetahuinya. Saat aku bermain rumah-rumahan dengan teman-temanku yang kuingat tentang bagaimana kita dilahirkan hanyalah sebuntel kain yang dimasukkan ke balik baju kita agar terlihat seperti ibu hamil, dan nanti buntelan itu dikeluarkan, lalu diganti menjadi sebuah boneka.

Sesaat dari televisi kulihat adegan seorang ibu sedang melahirkan, dia terbaring diranjang Rumah Sakit. Sebagian badannya ditutupi selimut khas Rumah Sakit, aku tidak bisa melihat dengan jelas dari bagian tubuh mana manusia dilahirkan. Tapi ibu dalam televisi itu diteriaki untuk mengambil nafas, dia juga terengah-engah. Aku makin bingung.

Ketika Mamih hamil, dan mengandung adikku. Aku sedikit senang. Aku pikir nanti ibuku akan melahirkan nanti, aku bisa ikut berdiri disamping ranjang Rumah Sakit dan menyaksikan sendiri darimana aku sebenarnya dilahirkan. Tapi ternyata aku dilabeli anak-anak, dan suster itu berkata, “Ade tunggu diluar ya.”

Ah, kenapa perlu dirahasiakan. Kenapa aku tidak tahu bahkan tentang darimana diriku, bagaimana proses kelahiran ku. Aku ingin cepat dewasa dan akan mengungkap rahasia itu.


PS : sekarang aku sudah dewasa dan tidak ada yang menarik tentang proses kelahiran

Comments

Popular posts from this blog

Cara Perempuan Jepang Membuang Bekas Pembalut

Selama hidup di Jepang, hal yang paling berkesan untukku adalah tiada hari berlalu tanpa pembelajaran. Bahkan ketika aku di rumah aja ngga ngapa-ngapain, aku tetap dapet pembelajaran baru. Jadi suatu pagi… aku lagi di apartemen aja kan biasa pengangguran laten [ gaya abiesz, bilang aja kosan Pak Ruslan versi fancy wkwk ], dan temen sekosanku yang orang jepang, dia nyimpen bungkus pembalut di kamar mandi. Hmm oiya kita tuh kamar mandinya shared, cuma beda kamar bobo aja. Jadi dia narohnya di salah satu papan yang ada di atas WC duduk gitu, biasanya di papan tersebut kita simpen tissue cadangan atau pengharum ruangan di situ. Oke dia lagi menstruasi. Tapi ini untuk pertama kalinya aku nemuin sampah yang digeletakin gitu aja. Nah, buat kalian yang ngga tau pembungkus pembalut yang mana, ini aku sertakan gambar… karena kebetulan aku lagi rajin dan lagi mens juga. Jadi ini pembalut… Dan ini bungkusnyaaa… yang mana tergeletak di WC tadi. Aku langsung bingung, ih tumben banget kok ngga

Ada Apa dengan Mas-Mas Jawa?

Kalau kamu adalah seorang perempuan, apa yang terlintas di benak ketika mendengar kata ‘Mas-Mas Jawa’? Apakah seksi, idaman, gagah, karismatik terlintas meski hanya sekilas? Tak dipungkiri lagi mas-mas jawa adalah komoditas utama dalam pencarian jodoh. Cewe-cewe entah kenapa ada aja yang bilang, “pengen deh dapet orang jawa.” Alasannya macem-macem mulai dari yang sekedar impian masa kecil, pengen aja, sampe dapet wangsit dari mbah Jambrong. Saya ngga ngelak, pria jawa memang identi dengan kualitas terbaik. Mungkin Abang, Aa, Uda, Bli, Daeng, atau Bung juga suka merasa daya saing di pasar rendah, apakah dikarenakan passing grade Si Mas-Mas tinggi? Atau karena ada quality control sebelum masuk pasar? Hmm. Mari disimak beberapa hal yang membuat mas jawa menjadi undeniable (ngga bisa ditolak) 1. Killer smile Mungkin tatapannya orang Jerman atau seringainya kumpeni itu bisa membunuh. Tapi untuk seorang mas-mas jawa, yang membunuh itu senyum. Bikin klepek-klepek. Takar

Apakah menulis essay dengan bantuan bot itu etis?

Beberapa hari lalu sempet liat postingan di twitter mengenai bot yang bisa menulis essay , konon… bisa mempermudah pekerjaan mahasiswa. HAHAHA. Sebagai seseorang yang bekerja di lingkungan akademisi, cuma menggeleng kepala. Hey nanti kalau pekerjaan kamu di masa depan diambil alih bot, jangan salahin bot-nya ya! Kan emang bot nya toh yang selama ini belajar. Sungguh terlalu, Martinez! Martinez siapa ang? Gatau…. Pengen aja mencela, tapi ga mungkin mencela menggunakan nama Bambang, karena itu nama dosenku ☹ Berdasarkan taksonomi Bloom, mensintesis atau create itu letaknya pada hirarki paling tinggi. Jelaslah kalau menciptakan tulisan yang berisi ide, gagasan dan mensistemasinya dalam kesatuan paragraf bukan sembarang yang mampu melakukannya. Diperlukan kemampuan berpikir level yang tinggi atau high order thinking skill . 😙 Meskipun entah kenapa menurutku, essaybot ini keliatan banget bot nya. Tulisannya ga punya sentuhan manusia, kaya ga punya hati.. WOW itu tulisan apa mantan deh

Bumiayu

Welcome to the beautiful earth! Bumiayu. Back then I used to speak flawless javanese. But now, you can’t even tell that i ever had medok accent (aku ora ngapusi iki). Bumiayu was the first place I learned about manner and etiquette. Javanese have different level of politeness in their language. They have kromo javanese and ngoko javanese. Kromo javanese used to talk with the elderly and someone that you should respect, whereas ngoko javanese is used when you’re talk to your friend or your junior. The same thing happened with Japanese and Korean. They do had formal and informal language.