Skip to main content

Selalu Ada Waktu

Aku berusia 23 ketika aku pertama bertemu denganmu. Yeah, they say the older you get, the more quicker you are judging about the people you meet.
Aku tahu aku tidak pernah mengatakan ini sebelumnya. Kamu punya kekuatan super. Kamu mampu menciptakan ilusi waktu. Waktu berhenti saat aku bersamamu. Selalu.
Percayakah kamu? Kalau aku mendapat seribu rupiah tiap kali jantungku berdetak kencang karena suaramu, kekayaanku sudah tentu mengalahkan Steve Jobs.
Tiap kali kamu berbicara, kamu terkadang menaikkan alismu dan menyudahinya dengan senyuman.
Mungkin kamu tidak menyadarinya. Tapi di detik itu aku tahu, aku mencintaimu tanpa karena.
Ingatkah kamu ketika kita makan sushi, dan kamu tiba-tiba bercerita tentang bagaimana kamu memutuskan untuk tidak makan gurita lagi. Katamu gurita punya perasaan, dan kamu punya cukup rasa empati ketika membayangkan gurita-gurita itu bersedih dan kesakitan.
Menyimakmu menyenangkanku. Aku suka gayamu ketika menjelaskan sesuatu, bahkan ketika kamu menjelaskan tayangan NatGeo. Aku suka bagaimana matamu memancarkan aura ilmiah. Yang paling aku suka adalah isi kepalamu.
Cinta itu melumpuhkan kemampuan kita untuk membandingkan. Itulah sebabnya bagiku tidak ada lagi “seseorang yang lebih baik”.
Kamu mengutip Khaled Hosseini, “Anak-anak harus mengetahui kehebatan ayah mereka”, lalu kamu bilang kamu ingin jadi hebat dan membuat anak-anakmu bangga.
Tidakkah kamu membaca mataku yang meneriakkan, “There he is.”

Sore itu kamu meminta maaf, kamu harus pergi. Jauh. Dan kamu bilang, “there’s no guarantee that I’ll be the same. Because I am going there to challenge myself, to change. To be a better person than yesterday.”
Aku hanya terdiam, betapa bodohnya aku yang berpikir untuk merantaimu yang mempunyai sayap. Kamu akhirnya melesat terbang.
Aku merasa terlepas dari hegemoni realitas semu ini. Semuanya tampak asing dan berbeda.
Dan sebagai salam perpisahan kubekali kamu dengan kejujuran terakhirku, “aku selalu ada waktu untukmu. Bahkan untuk omong kosongmu.”


Comments

Popular posts from this blog

Cara Perempuan Jepang Membuang Bekas Pembalut

Selama hidup di Jepang, hal yang paling berkesan untukku adalah tiada hari berlalu tanpa pembelajaran. Bahkan ketika aku di rumah aja ngga ngapa-ngapain, aku tetap dapet pembelajaran baru. Jadi suatu pagi… aku lagi di apartemen aja kan biasa pengangguran laten [ gaya abiesz, bilang aja kosan Pak Ruslan versi fancy wkwk ], dan temen sekosanku yang orang jepang, dia nyimpen bungkus pembalut di kamar mandi. Hmm oiya kita tuh kamar mandinya shared, cuma beda kamar bobo aja. Jadi dia narohnya di salah satu papan yang ada di atas WC duduk gitu, biasanya di papan tersebut kita simpen tissue cadangan atau pengharum ruangan di situ. Oke dia lagi menstruasi. Tapi ini untuk pertama kalinya aku nemuin sampah yang digeletakin gitu aja. Nah, buat kalian yang ngga tau pembungkus pembalut yang mana, ini aku sertakan gambar… karena kebetulan aku lagi rajin dan lagi mens juga. Jadi ini pembalut… Dan ini bungkusnyaaa… yang mana tergeletak di WC tadi. Aku langsung bingung, ih tumben banget kok ngga

Ada Apa dengan Mas-Mas Jawa?

Kalau kamu adalah seorang perempuan, apa yang terlintas di benak ketika mendengar kata ‘Mas-Mas Jawa’? Apakah seksi, idaman, gagah, karismatik terlintas meski hanya sekilas? Tak dipungkiri lagi mas-mas jawa adalah komoditas utama dalam pencarian jodoh. Cewe-cewe entah kenapa ada aja yang bilang, “pengen deh dapet orang jawa.” Alasannya macem-macem mulai dari yang sekedar impian masa kecil, pengen aja, sampe dapet wangsit dari mbah Jambrong. Saya ngga ngelak, pria jawa memang identi dengan kualitas terbaik. Mungkin Abang, Aa, Uda, Bli, Daeng, atau Bung juga suka merasa daya saing di pasar rendah, apakah dikarenakan passing grade Si Mas-Mas tinggi? Atau karena ada quality control sebelum masuk pasar? Hmm. Mari disimak beberapa hal yang membuat mas jawa menjadi undeniable (ngga bisa ditolak) 1. Killer smile Mungkin tatapannya orang Jerman atau seringainya kumpeni itu bisa membunuh. Tapi untuk seorang mas-mas jawa, yang membunuh itu senyum. Bikin klepek-klepek. Takar

Apakah menulis essay dengan bantuan bot itu etis?

Beberapa hari lalu sempet liat postingan di twitter mengenai bot yang bisa menulis essay , konon… bisa mempermudah pekerjaan mahasiswa. HAHAHA. Sebagai seseorang yang bekerja di lingkungan akademisi, cuma menggeleng kepala. Hey nanti kalau pekerjaan kamu di masa depan diambil alih bot, jangan salahin bot-nya ya! Kan emang bot nya toh yang selama ini belajar. Sungguh terlalu, Martinez! Martinez siapa ang? Gatau…. Pengen aja mencela, tapi ga mungkin mencela menggunakan nama Bambang, karena itu nama dosenku ☹ Berdasarkan taksonomi Bloom, mensintesis atau create itu letaknya pada hirarki paling tinggi. Jelaslah kalau menciptakan tulisan yang berisi ide, gagasan dan mensistemasinya dalam kesatuan paragraf bukan sembarang yang mampu melakukannya. Diperlukan kemampuan berpikir level yang tinggi atau high order thinking skill . 😙 Meskipun entah kenapa menurutku, essaybot ini keliatan banget bot nya. Tulisannya ga punya sentuhan manusia, kaya ga punya hati.. WOW itu tulisan apa mantan deh

Bumiayu

Welcome to the beautiful earth! Bumiayu. Back then I used to speak flawless javanese. But now, you can’t even tell that i ever had medok accent (aku ora ngapusi iki). Bumiayu was the first place I learned about manner and etiquette. Javanese have different level of politeness in their language. They have kromo javanese and ngoko javanese. Kromo javanese used to talk with the elderly and someone that you should respect, whereas ngoko javanese is used when you’re talk to your friend or your junior. The same thing happened with Japanese and Korean. They do had formal and informal language.