Skip to main content

Pulsa

Tepat pukul 5.30 pagi, seseorang menelepon saya. “Neng, beliin pulsa dong. Lagi di Sumedang nih.” Untung saya sudah bangun dan sadar sepenuhnya. Skenarionya mirip banget sama mamah minta pulsa karena mamah lagi di penjara. Bedanya ini mamih saya beneran, nomornya juga bener dia, dan syukurlah dia ngga lagi di penjara.

Abis cuci muka saya langsung keliling-keliling nyari tukang pulsa, dan ngga ada yang buka satupun jam segitu. Hey kok yang dagang sarapan banyak tapi yang jual pulsa masih tutup, kan kita ngga bisa makan uduk tanpa hp yang buncit oleh pulsa?

Ngga ada yang buka, Indomart aja masih tutup. Akhirnya terlintas buka francise namanya Pulsamart, kios pulsa 24 jam. Saya memutuskan untuk pergi ke ATM terdekat.

Ketika itu...saya sadar betapa pentingnya pulsa. Dan betapa saya seringkali menyepelekan pulsa.

Orang yang bilang dia ngga bisa hidup tanpa kekasihnya, mungkin belum pernah merasakan hidup tanpa pulsa. Pulsa apapun bentuknya, mau pulsa telpon atau pulsa internet levelnya berada di atas kekasih. Soalnya percuma dong punya pacar, tapi ngga punya pulsa.

Setelah kejadian tersebut, saya bereksperimen untuk menahan diri ngga punya pulsa. Ingin lihat berapa lama sih kuat ngga punya pulsa. Hp itu se-smart apapun, ngga bisa banyak berkutik ketika ngga ada pulsanya. Maka pulsa bagi sebuah hp adalah ibarat nyawa.

Percobaan hidup tanpa pulsa tersebut bertahan selama 3 hari, dan itu weekend. Selama itu juga saya ngga tahu apa-apa, ngga diajak kemana-kemana sama siapapun, kaya hidup di gua hiro, bedanya saya ngga dapet wahyu.

Di lain kesempatan juga saya pernah beberapa kali mencoba menjauhkan diri dari handphone untuk melihat seberapa besar pengaruh keberadaan gadget satu ini. Saya menjadwal untuk memegang handphone hanya 3 kali dengan lama maksimal setengah jam. Saya mengizinkan diri saya mengecek hp pagi, sore dan malam. Siang saya mengendalikan untuk tidak mengeceknya.

Hasilnya cukup memuaskan, saya patuh pada aturan itu sampai hampir empat hari. Ini hasil yang ajaib mengingat saya biasanya mau ke kamar mandi saja harus membawa hp. Sesudah percobaan membatasi pemakaian hp, saya tidak panik kalau lupa membawa hp. Saya menyimpulkan bahwa saya tidak ketergantungan gadget. Saya berasumsi bahwa variabel yang paling menentukan dalam eksperimen hidup jauh dari hp ini adalah tidak adanya pacar, dan have no life as real netizen. Mungkin hasilnya akan berbeda kalau kerjaan saya punya online shop atau punya pacar. Okay, that doesn’t matter.

What’s matter is, kenapa saya tidak bisa berlama-lama tidak punya pulsa?

Pulsa saat ini sudah masuk kebutuhan primer, beside chargeran tentunya. Jadi ketika kelas ekonomi, ada yang ditanya apa saja kebutuhan primer itu? Jawabannya adalah pangan, sandang, papan, casan, pulsa.

That’s explain why my mother asked for pulsa in the morning. She doesn’t even care it’s not even 6.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Perempuan Jepang Membuang Bekas Pembalut

Selama hidup di Jepang, hal yang paling berkesan untukku adalah tiada hari berlalu tanpa pembelajaran. Bahkan ketika aku di rumah aja ngga ngapa-ngapain, aku tetap dapet pembelajaran baru. Jadi suatu pagi… aku lagi di apartemen aja kan biasa pengangguran laten [ gaya abiesz, bilang aja kosan Pak Ruslan versi fancy wkwk ], dan temen sekosanku yang orang jepang, dia nyimpen bungkus pembalut di kamar mandi. Hmm oiya kita tuh kamar mandinya shared, cuma beda kamar bobo aja. Jadi dia narohnya di salah satu papan yang ada di atas WC duduk gitu, biasanya di papan tersebut kita simpen tissue cadangan atau pengharum ruangan di situ. Oke dia lagi menstruasi. Tapi ini untuk pertama kalinya aku nemuin sampah yang digeletakin gitu aja. Nah, buat kalian yang ngga tau pembungkus pembalut yang mana, ini aku sertakan gambar… karena kebetulan aku lagi rajin dan lagi mens juga. Jadi ini pembalut… Dan ini bungkusnyaaa… yang mana tergeletak di WC tadi. Aku langsung bingung, ih tumben banget kok ngga

Ada Apa dengan Mas-Mas Jawa?

Kalau kamu adalah seorang perempuan, apa yang terlintas di benak ketika mendengar kata ‘Mas-Mas Jawa’? Apakah seksi, idaman, gagah, karismatik terlintas meski hanya sekilas? Tak dipungkiri lagi mas-mas jawa adalah komoditas utama dalam pencarian jodoh. Cewe-cewe entah kenapa ada aja yang bilang, “pengen deh dapet orang jawa.” Alasannya macem-macem mulai dari yang sekedar impian masa kecil, pengen aja, sampe dapet wangsit dari mbah Jambrong. Saya ngga ngelak, pria jawa memang identi dengan kualitas terbaik. Mungkin Abang, Aa, Uda, Bli, Daeng, atau Bung juga suka merasa daya saing di pasar rendah, apakah dikarenakan passing grade Si Mas-Mas tinggi? Atau karena ada quality control sebelum masuk pasar? Hmm. Mari disimak beberapa hal yang membuat mas jawa menjadi undeniable (ngga bisa ditolak) 1. Killer smile Mungkin tatapannya orang Jerman atau seringainya kumpeni itu bisa membunuh. Tapi untuk seorang mas-mas jawa, yang membunuh itu senyum. Bikin klepek-klepek. Takar

Apakah menulis essay dengan bantuan bot itu etis?

Beberapa hari lalu sempet liat postingan di twitter mengenai bot yang bisa menulis essay , konon… bisa mempermudah pekerjaan mahasiswa. HAHAHA. Sebagai seseorang yang bekerja di lingkungan akademisi, cuma menggeleng kepala. Hey nanti kalau pekerjaan kamu di masa depan diambil alih bot, jangan salahin bot-nya ya! Kan emang bot nya toh yang selama ini belajar. Sungguh terlalu, Martinez! Martinez siapa ang? Gatau…. Pengen aja mencela, tapi ga mungkin mencela menggunakan nama Bambang, karena itu nama dosenku ☹ Berdasarkan taksonomi Bloom, mensintesis atau create itu letaknya pada hirarki paling tinggi. Jelaslah kalau menciptakan tulisan yang berisi ide, gagasan dan mensistemasinya dalam kesatuan paragraf bukan sembarang yang mampu melakukannya. Diperlukan kemampuan berpikir level yang tinggi atau high order thinking skill . ๐Ÿ˜™ Meskipun entah kenapa menurutku, essaybot ini keliatan banget bot nya. Tulisannya ga punya sentuhan manusia, kaya ga punya hati.. WOW itu tulisan apa mantan deh

Bumiayu

Welcome to the beautiful earth! Bumiayu. Back then I used to speak flawless javanese. But now, you can’t even tell that i ever had medok accent (aku ora ngapusi iki). Bumiayu was the first place I learned about manner and etiquette. Javanese have different level of politeness in their language. They have kromo javanese and ngoko javanese. Kromo javanese used to talk with the elderly and someone that you should respect, whereas ngoko javanese is used when you’re talk to your friend or your junior. The same thing happened with Japanese and Korean. They do had formal and informal language.