Skip to main content

Tionghoa

Ayahku mengontrak bangunan kecil yang dijadikan bengkel pada orang Tionghoa bernama Apoh. Semua orang selalu memanggilnya Koko, Engko, atau Ko saja kalau sedang terburu-buru. Ko Apoh hobi memakai celana pendek ketika di rumah, membaca koran ketika pagi. Perawakannya kurus memakai kacamata, tapi kadang kacamatanya hanya hiasan, ia turunkan melorot ke hidung dan dilihatnya orang dari mata yang terhalang kacamata yang melorot itu. Istrinya dipanggil Cici oleh orangtuaku. Lina namanya, cantik dan putih kulitnya. Mereka dikaruniai dua orang anak. Anak tertua sering ku panggil Cici Yessi. Anak kedua lelaki yang seumuran denganku, Kevin. Aku dan Kevin sering bermain bersama, tak jarang juga berkelahi sampai ribut, layaknya adik kakak. Aku ingat aku sering berebut mainan, tepatnya aku yang merebutnya. Aku ingat aku sering menggigit Kevin saking kesalnya. Wanita memang menakutkan kalau sedang marah. Kau harus ingat itu.

Ayahku selalu menganggap Ko Apoh sebagai saudaranya. Kau tahu apa akibatnya mempunyai saudara seperti Ko Apoh : parsel berupa dodol Cina yang lezatnya tak terkira yang dikirim menjelang lebaran. Lihatlah bagaimana persaudaraan yang manis bisa hadir begitu saja di perantauan. Karena kau sama-sama tahu kau tidak punya siapapun, tapi kau ingin percaya pada kemampuan manusia untuk berbuat baik dan kau saling bersandar. Mengingat masa itu, aku sadar benar bahwa rantau yang asing layaknya kanvas baru untuk melukis hidup. Keterasingan menyediakan ruang untuk memulai segala sesuatu dari nol, sebab tempat baru itu tidak menyediakan masa lalu. Kau harus selalu melihat masa depan, dan kau percaya masa depan itu berisi kebaikan, sehingga kau harus memulainya dengan kebaikan.

Ayahku bilang berbisnis dengan orang Tionghoa itu enak. Mereka benar-benar mengamalkan kitab sucinya, jujur dan tanpa banyak cingcong menolong orang lain. Ayahku bilang Koko-koko dan Cici-cici rata-rata memang punya trust issue dengan pribumi, karena Indonesia pernah punya ‘sejarah’ sendiri. Beliau bercerita dulunya banyak orang Tionghoa dikucilkan, dibenci, dan dibuat susah hidupnya oleh pribumi rasis yang tak percaya bahwa rezeki sudah ada bagiannya masing-masing. Ayahku bilang pada masa itu tak ada Tionghoa yang jadi PNS, karena mereka selalu ditolak oleh masyarakat, mereka mengembangkan kemampuan bisnisnya dan jadi sukses karena mereka selalu bersifat jujur dan tekun. Mereka dilatih hidup mandiri dan tidak mudah percaya, kerap kali mereka dicap pelit. Sebenarnya kalau kau cukup selalu berbuat baik pada mereka, bantu mereka, jangan segan-segan untuk bersahabat dengan mereka, mereka akan mengulurkan tangannya, menjabatmu dan siap untuk berbagi kebaikan denganmu.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Perempuan Jepang Membuang Bekas Pembalut

Selama hidup di Jepang, hal yang paling berkesan untukku adalah tiada hari berlalu tanpa pembelajaran. Bahkan ketika aku di rumah aja ngga ngapa-ngapain, aku tetap dapet pembelajaran baru. Jadi suatu pagi… aku lagi di apartemen aja kan biasa pengangguran laten [ gaya abiesz, bilang aja kosan Pak Ruslan versi fancy wkwk ], dan temen sekosanku yang orang jepang, dia nyimpen bungkus pembalut di kamar mandi. Hmm oiya kita tuh kamar mandinya shared, cuma beda kamar bobo aja. Jadi dia narohnya di salah satu papan yang ada di atas WC duduk gitu, biasanya di papan tersebut kita simpen tissue cadangan atau pengharum ruangan di situ. Oke dia lagi menstruasi. Tapi ini untuk pertama kalinya aku nemuin sampah yang digeletakin gitu aja. Nah, buat kalian yang ngga tau pembungkus pembalut yang mana, ini aku sertakan gambar… karena kebetulan aku lagi rajin dan lagi mens juga. Jadi ini pembalut… Dan ini bungkusnyaaa… yang mana tergeletak di WC tadi. Aku langsung bingung, ih tumben banget kok ngga ...

Kentut

Saya pernah nonton variety show-nya Negri Gingseng, Hello Counselor . Acaranya membahas problematika, kesulitan, dan penderitaan seseorang. Kind of curhat, but the problem usually soooo silly and weird, you can’t even imagine. Disitu ada host sama penonton. Host berfungsi juga sebagai panelis tanya jawab tentang permasalahan tersebut. Tanya jawabnya dua arah, dari sisi yang punya masalah dan yang jadi biang masalah. Hingga pada satu titik mereka coba memberi solusi. Terus penonton ngejudge itu masalah bukan untuk kemudian voting. Nah yang paling banyak dapet vote , nanti dapet hadiah. Ada satu episode yang menarik yang melibatkan hal paling manusiawi : kentut.

Entry 5 - Gratitude Journal: Wished

What is something that you have now that seemed like a wish back then? The first thing that comes to my mind is the freedom to do anything.  Hal yang tampak seperti mimpi dulunya adalah melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa. Beberapa di antaranya merupakan adegan berbahaya yang hanya bisa dilakukan oleh ahli. Hal seperti bepergian sendiri kemanapun, membeli barang-barang lucu yang diinginkan, bahkan berpikir hanya untuk diri sendiri. Aku tidak tahu kenapa kota tempatku tinggal,  Karawang disebut Kota Pangkal Perjuangan, tapi aku cukup tahu semua orang di sini memang bergelar pejuang. Menjadi dewasa artinya bergerak menjadi seorang yang berjuang. Dulu semuanya diperjuangkan oleh orang lain tanpa kita maknai. Sekarang aku tahu betapa lelahnya itu, tapi tidak ada seorang pun bertanya, karena semua orang ingin beristirahat juga. Aku suka menjadi dewasa karena hal-hal yang tidak terlihat ketika aku kecil, sekarang semuanya nyata. Sayangnya, kita semua mend...

Entry 4 - Gratitude Journal: Happy Memories

Write about the memories that made you happy! Aku tumbuh dan dibesarkan dengan baik oleh ayah ibuku. Banyak kenangan indah yang bisa aku jadikan sebagai mantra Patronus-ku. Sangat sulit memilih mana yang bisa aku jadikan mantra utama penangkal duka lara. Kalau aku meninggal, core memoriesku mungkin bisa menentukan mana best of the best memories, kalau sekarang masih bingung milihnya. Aku suka hari-hari kenaikan kelas, pembagian raport, dan wisuda. Karena ada kebahagiaan terlimpah ruah setelah bisa melewati kesulitan berlevel, ada kesenangan terpancar saat kita bisa mengukir senyum bangga orang tua. Momen itu yang menjadi batu pondasi kalau kelak aku lupa apa itu rasanya bagaia. Momen bahagia baru terasa setelah serentetan lelah dan luka kita lalui, kita naik level, kita jadi lebih baik. Dan kenangan itu membuatku bahagia. Aku juga suka hari-hari normal yang berlalu dengan penuh kedamaian. Ada kewarasan yang tersimpan dalam sebuah rutinitas. Ada rasa aman ketika tahu kita bisa beristir...