Skip to main content

Penjelajah

Ketika liburan idul fitri, lamat dalam ingatan, kakek saya yang sedang melinting tembakau untuk dijadikan rokok tiba-tiba berkata, “Kamu seharusnya bepergian, menjelajahi dunia ini. Hidupmu akan terasa lebih panjang.” Setelah sekian lama kalimat istimewa ini menyempil di serebrum, saya baru mengerti apa yang beliau sampaikan kemarin.

Saya sedang memikirkan tentang sakaratul maut, ketika tiba-tiba saya berpikir : “kenangan apa yang akan berhamburan di detik-detik kematian saya?” Kenangan yang saya punya tidak banyak, sebagian besar hanya berupa rutinitas pergi ke sekolah dan mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan sekolah dan kuliah. Dan semua itu serupa mencoba mengingat mimpi, semakin direka semakin samar. Mungkin yang akan muncul hanya ingatan tentang wajah tersenyum dari orang-orang yang saya cintai. Satu persatu, mereka berdesakan melesak membingkai jalinan kehidupan saya. Tapi apa yang sedang mereka lakukan di film super cepat pada detik kematian saya nantinya?

Saya mengingat perjalanan saya berangkat dan pulang, ke sekolah, ke rumah, ke kampus, membentuk siklus abadi. Kira-kira hampir 200 kali saya melakukannya dalam setahun untuk 17 tahun terakhir. 3400 hari yang semuanya hampir blur.

Mencoba meruntut dari era keemasan setiap pribadi : masa kecil. Ketika saya kecil, keluarga saya akan mengajak saya bepergian tiap akhir tahun ajaran. Kalau meninjau ulang kehidupan saya, saya mengingat semuanya. Pertama kali saya melihat rombongan sirkus ketika saya TK. Pertama kali saya pergi berenang ketika adik saya masih dalam gendongan. Pertama kali saya ke Ancol ketika saya kelas 1 SD. Semua itu menjadi pengalaman hidup dan dibagikan bersama orang-orang yang sangat saya pedulikan. Hidup saya jadi lebih panjang karena perjalanan-perjalanan yang saya pernah lalui.

Dalam setiap milisekon perjumpaan saya dengan malaikat maut, saya mungkin akan bersusah payah memanggil kenangan-kenangan itu.

Saya sadar, pengulangan dan rutinitas tidak pernah benar-benar menjadi memori. Pengalaman barulah yang menjadi memori. Persepsi kita mengenai waktu disetir oleh persepsi kita oleh sesuatu yang samar, baru, unfamiliar. Waktu akan melambat pada saat pengalaman itu hadir mewujud. Cara yang paling aman untuk memperlambat waktu adalah dengan menjelajah. Penjelajahan adalah pengalaman baru yang bisa memindahkan kita dari rutinitas busuk untuk menciptakan memori bersama orang yang kita cintai.

Ada pepatah lama mengatakan, “Life is a journey.” Faktanya kehidupan ini terdiri dari banyak journey. Semakin banyak kita melakukan penjelajahan-penjelajahan, hidup kita akan semakin panjang.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Perempuan Jepang Membuang Bekas Pembalut

Selama hidup di Jepang, hal yang paling berkesan untukku adalah tiada hari berlalu tanpa pembelajaran. Bahkan ketika aku di rumah aja ngga ngapa-ngapain, aku tetap dapet pembelajaran baru. Jadi suatu pagi… aku lagi di apartemen aja kan biasa pengangguran laten [ gaya abiesz, bilang aja kosan Pak Ruslan versi fancy wkwk ], dan temen sekosanku yang orang jepang, dia nyimpen bungkus pembalut di kamar mandi. Hmm oiya kita tuh kamar mandinya shared, cuma beda kamar bobo aja. Jadi dia narohnya di salah satu papan yang ada di atas WC duduk gitu, biasanya di papan tersebut kita simpen tissue cadangan atau pengharum ruangan di situ. Oke dia lagi menstruasi. Tapi ini untuk pertama kalinya aku nemuin sampah yang digeletakin gitu aja. Nah, buat kalian yang ngga tau pembungkus pembalut yang mana, ini aku sertakan gambar… karena kebetulan aku lagi rajin dan lagi mens juga. Jadi ini pembalut… Dan ini bungkusnyaaa… yang mana tergeletak di WC tadi. Aku langsung bingung, ih tumben banget kok ngga

Ada Apa dengan Mas-Mas Jawa?

Kalau kamu adalah seorang perempuan, apa yang terlintas di benak ketika mendengar kata ‘Mas-Mas Jawa’? Apakah seksi, idaman, gagah, karismatik terlintas meski hanya sekilas? Tak dipungkiri lagi mas-mas jawa adalah komoditas utama dalam pencarian jodoh. Cewe-cewe entah kenapa ada aja yang bilang, “pengen deh dapet orang jawa.” Alasannya macem-macem mulai dari yang sekedar impian masa kecil, pengen aja, sampe dapet wangsit dari mbah Jambrong. Saya ngga ngelak, pria jawa memang identi dengan kualitas terbaik. Mungkin Abang, Aa, Uda, Bli, Daeng, atau Bung juga suka merasa daya saing di pasar rendah, apakah dikarenakan passing grade Si Mas-Mas tinggi? Atau karena ada quality control sebelum masuk pasar? Hmm. Mari disimak beberapa hal yang membuat mas jawa menjadi undeniable (ngga bisa ditolak) 1. Killer smile Mungkin tatapannya orang Jerman atau seringainya kumpeni itu bisa membunuh. Tapi untuk seorang mas-mas jawa, yang membunuh itu senyum. Bikin klepek-klepek. Takar

Apakah menulis essay dengan bantuan bot itu etis?

Beberapa hari lalu sempet liat postingan di twitter mengenai bot yang bisa menulis essay , konon… bisa mempermudah pekerjaan mahasiswa. HAHAHA. Sebagai seseorang yang bekerja di lingkungan akademisi, cuma menggeleng kepala. Hey nanti kalau pekerjaan kamu di masa depan diambil alih bot, jangan salahin bot-nya ya! Kan emang bot nya toh yang selama ini belajar. Sungguh terlalu, Martinez! Martinez siapa ang? Gatau…. Pengen aja mencela, tapi ga mungkin mencela menggunakan nama Bambang, karena itu nama dosenku ☹ Berdasarkan taksonomi Bloom, mensintesis atau create itu letaknya pada hirarki paling tinggi. Jelaslah kalau menciptakan tulisan yang berisi ide, gagasan dan mensistemasinya dalam kesatuan paragraf bukan sembarang yang mampu melakukannya. Diperlukan kemampuan berpikir level yang tinggi atau high order thinking skill . 😙 Meskipun entah kenapa menurutku, essaybot ini keliatan banget bot nya. Tulisannya ga punya sentuhan manusia, kaya ga punya hati.. WOW itu tulisan apa mantan deh

Bumiayu

Welcome to the beautiful earth! Bumiayu. Back then I used to speak flawless javanese. But now, you can’t even tell that i ever had medok accent (aku ora ngapusi iki). Bumiayu was the first place I learned about manner and etiquette. Javanese have different level of politeness in their language. They have kromo javanese and ngoko javanese. Kromo javanese used to talk with the elderly and someone that you should respect, whereas ngoko javanese is used when you’re talk to your friend or your junior. The same thing happened with Japanese and Korean. They do had formal and informal language.