Skip to main content

Ngga Ada yang Terlahir Spesial

Kamu ngga pernah terlahir spesial. Aku harap kamu cool aja nanggepinnya.Sebelum kamu jadi sedih, tahanlah dulu sebentar keinginanmu untuk beranjak. Faktanya, aku juga ngga spesial. Sejujurnya, aku belum ketemu sama bentuk kehidupan di planet bumi yang bisa diklasifikasikan sebagai ‘spesial’ sebagaimana yang selalu kita gadang-gadangkan. Selayaknya anak milenium yang dibesarkan dalam postmodernisme barat dan timur, aku diajarkan kalau aku spesial dan akan melakukan hal-hal besar. Selaris bisnis penyadaran pentingnya ESQ, aku juga diyakinkan bahwa aku bisa melebihi apa yang aku tahu dan apa yang orangtuaku harapkan. Apakah itu semua nyata? Atau aku terlalu muda dan mempercayai apa saja menjadi kelemahanku saat itu. Apa yang membuat kita berbeda dari 7,3 milyar manusia lainnya? Tahun berganti tahun, kita ngga lihat apapun terjadi di kehidupan kita. Aku mulai berpikir kalau semua itu hanya kotoran banteng alias bullshit. Kita kadang terusik dan bertanya “kok gini-gini aja ya kehidupan gw?” Dan ternyata plot twistnya :

Kita hanya berusaha mengalienisasi diri kita dan percaya kalau kita spesial. Kita ngga mau mengakui kenyataan kalau kita semua terlahir sama dan biasa saja. Kita hanya perlu berusaha menerima fakta itu, dan gunakan fakta itu untuk melakukan hal-hal yang spesial.

Dalam diri kita, terdapat tiga lapisan permukaan.


Mari kita sebut lapisan inti, lapisan reseptor, dan lapisan projektor. Begini diagram dan penjelasannya: 

Inti. Kita dibesarkan untuk memilah hal yang benar dan memilih hal yang baik dari hal yang salah dan buruk. Kita dikelilingi oleh masyarakat yang berbudaya. Itu artinya kita punya inti yang sama dengan 99,99% populasi warga dunia. Jauh di lubuk hati terdalam, kebutuhan-kebutuhan dan ketakutan-ketakutan kita sama. Kita diprogram untuk mencapai apa yang menyenangkan dan menghindari apa yang membuat kita menderita. Kita semua berharap mempunyai pekerjaan yang hebat, keluarga yang baik, dan kesempatan untuk melakukan hal-hal menakjubkan. Apapun itu yang pernah kita lamunkan sebelum kita tidur dan membuat kita terjaga.
Pada dasarnya, kita ingin menjadi sesuatu yang berarti, dan takut kalau semua hal itu ngga akan terjadi.
Kamu pernah kepikiran ngga kalau Leonardo DiCaprio sebenernya tuh takut dia ngga ketemu cinta sejatinya trus dia ujungnya jadi bujang lapuk, meskipun sepanjang mata memandang dia melihat model sana-sini? Pernah kepikiran ngga kalau sebenernya Steve Jobs tuh awalnya takut gagal, meski sekarang kita tahu beliau jadi icon karena punya sesuatu yang ‘unik’? Pernah kepikiran ngga kalau sebenernya presiden berharap dia bisa ngabisin lebih banyak waktu dengan anak-anaknya ketimbang harus memikul beban negara di pundaknya 24jam sehari? Kita semua tidak begitu berbeda bukan? Kita takut tidak menemukan love of my life. Kita khawatir dengan kegagalan. Kita berharap kita lebih punya waktu untuk orang yang tercinta.
Reseptor. Lapisan tengah ini tentang apa yang kita pikirkan. Bagaimana kita memproses dan menganalisa banyak hal. Kita masih bukan seseorang yang spesial, tapi kita memahami setiap informasi dengan cara yang berbeda. Contohnya gini, bayangkan kita ingin karir yang brilian. Kita mulai apply pekerjaan impian kita dan kita ditolak. Si lapisan inti bilang “Hey kok lu ngga berhasil ya?” Kemudian informasi dari lapisan inti melewati reseptor dan bisa diproses jadi beberapa pemikiran semacam:
1. Yah.. gw gagal lagi. Hidup gw begini amat ya? Orang-orang emang lebih jago ketimbang gw, gw mah apaan. Argh, gw benci semua orang, atau
2. Oke dari sini gw belajar kenapa gw gagal. Lain kali gw ngga gini lagi. Satu penolakan ini mendekatkan gw ke penerimaan lain.
Atau kita bayangkan, kita terjebak dalam suatu penyerangan penjajah dan tiap harinya orang-orang mulai menghilang. Kita melihat beberapa orang mulai blingsatan dan jadi gila, tapi ada juga orang yang tetap tenang dan biasa aja. Lapisan inti mulai ngirim pesan “kamu ngga aman disini.” Lapisan reseptor mungkin bakal kaya gini:
1. Haduh tamat deh gw. Gw pasti korban selanjutnya dan gw ngga bisa ngapa-ngapain”, atau
2. Apa tujuannya semua ini sih? Gimana ya gw bisa keluar dari situasi ini? Untuk apakah gw mati? Gw pengen menolong yang lainnya. Gimana ya caranya?
Kita bisa lihat betapa besar perbedaan yang bisa diciptakan dari si reseptor. Coba pikir lagi semua hal yang pernah terjadi sama kamu, bagaimana reseptor kamu biasanya bekerja.
Projektor. Siapa diri kamu sebenarnya dan ingin kamu sebenarnya apa. Jadi si lapisan inti melemparkan sesuatu hal terus diproses sama reseptor, selanjutnya bagaimana kamu bakal memahami semua ini? Apa yang kamu ingin lakukan? Ini yang bakal membedakan kamu dengan yang lain.
What’s your next move, huh?
Apakah kamu hanya cukup dengan merasa dan mengerti semua hal yang terjadi atau kamu akan mulai beraksi?
Akankah kamu memulai berusaha meski dengan peluang 1 % atau kamu akan memilih melakukannya minggu depan karena sekarang ada TV show baru dan kamuharus menontonnya?
Apa kamu hanya akan berpikir kalau kamu harus lebih menjaga kesehatan tubuh kamu dengan olah raga atau mungkin setelah kamu malah beli nasi padang dan oke-nanti-dipikirkan-lagi-deh-ya?
Problem lainnya yang muncul adalah kadang kita melihat perbedaan besar di semesta sosial media tentang orang-orang yang spesial dan yang tidak. Kita lihat orang di instagram posting foto travelling yang keren dengan pose the-happiest-person-in-earth. Kita nanya ke diri sendiri “Kenapa ya gw ngga se-special itu?”. Hey, mereka ngga spesial kok, mereka juga memproses informasi dan memastikan kalau projektor ngelakuin sesuatu tentang hal tersebut. Mereka juga punya ketakutan-ketakutan, keraguan dan kekhawatiran. Hanya saja, mereka memahami semua itu dengan cara yang berbeda.
Lihat saja Steve Jobs yang jenius mem-branding dirinya dan produknya sehingga orang-orang berpikiran seperti apa yang ia inginkan dirinya dipikirkan. Meskipun nih di dunia teknologi banyak juga yang berperan penting dan membuat perbedaan besar (check out Dennis Ritchie).
Contoh nyatanya, aku nulis di blog ini belum tentu ada yang baca. Si lapisan inti mulai resah, dan reseptor semacam:
1. Berhenti deh ngepost blog. Ngga ada yang baca juga, atau
2. Siapa tahu kan ada yang baca? Mungkin harus lebih promosi lagi atau harus nulis yang menarik. Setidaknya apa yang lu share bisa bermanfaat, paling ngga untuk reminder ke diri lu nanti.
Aku milih yang kedua. Karena aku juga ngga spesial, aku selalu lapar untuk bertumbuh dan mendewasa, begitu juga manusia lainnya. Semoga bisa manfaat ya.
Pada akhirnya, aku cuma bisa bilang kalau orang-orang harus mengambil keuntungan dari fakta bahwa kita semua ini sama aja. Kita bisa lebih saling terhubung dan saling menolong. Menciptakan hal-hal ajaib yang kita sudah miliki di dalam diri kita. Bukankah itu alasan kenapa film, buku, produk-produk apapun punya banyak konsumen? Ya karena kita semua mempunyai keadaan dan emosi yang hampir serupa.
Seorang pemain piano terkenal yang memiliki jutaan pengagum tidaklah terlahir spesial. Pianis itu terkenal karena menciptakan nada yang berubah menjadi emosi yang sama yang dimiliki jutaan orang.
So, mungkin kita harus mulai melihat kesamaan apa yang kita miliki ketimbang harus berlaga dan mencoba jadi ‘spesial’.
Ada perbedaan tipis di pendekatannya, tapi mungkin itu bisa bawa perubahan besar di dunia ini.

Comments

  1. Aku percaya tiap orang punya ketakutan masing-masing, gimana mereka mengahadapinya adalah bagaimana diri mereka sendiri sebagai inti. Lanjut nulis, ang! Aku pembaca setia.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Cara Perempuan Jepang Membuang Bekas Pembalut

Selama hidup di Jepang, hal yang paling berkesan untukku adalah tiada hari berlalu tanpa pembelajaran. Bahkan ketika aku di rumah aja ngga ngapa-ngapain, aku tetap dapet pembelajaran baru. Jadi suatu pagi… aku lagi di apartemen aja kan biasa pengangguran laten [ gaya abiesz, bilang aja kosan Pak Ruslan versi fancy wkwk ], dan temen sekosanku yang orang jepang, dia nyimpen bungkus pembalut di kamar mandi. Hmm oiya kita tuh kamar mandinya shared, cuma beda kamar bobo aja. Jadi dia narohnya di salah satu papan yang ada di atas WC duduk gitu, biasanya di papan tersebut kita simpen tissue cadangan atau pengharum ruangan di situ. Oke dia lagi menstruasi. Tapi ini untuk pertama kalinya aku nemuin sampah yang digeletakin gitu aja. Nah, buat kalian yang ngga tau pembungkus pembalut yang mana, ini aku sertakan gambar… karena kebetulan aku lagi rajin dan lagi mens juga. Jadi ini pembalut… Dan ini bungkusnyaaa… yang mana tergeletak di WC tadi. Aku langsung bingung, ih tumben banget kok ngga

Kentut

Saya pernah nonton variety show-nya Negri Gingseng, Hello Counselor . Acaranya membahas problematika, kesulitan, dan penderitaan seseorang. Kind of curhat, but the problem usually soooo silly and weird, you can’t even imagine. Disitu ada host sama penonton. Host berfungsi juga sebagai panelis tanya jawab tentang permasalahan tersebut. Tanya jawabnya dua arah, dari sisi yang punya masalah dan yang jadi biang masalah. Hingga pada satu titik mereka coba memberi solusi. Terus penonton ngejudge itu masalah bukan untuk kemudian voting. Nah yang paling banyak dapet vote , nanti dapet hadiah. Ada satu episode yang menarik yang melibatkan hal paling manusiawi : kentut.

Ada Apa dengan Mas-Mas Jawa?

Kalau kamu adalah seorang perempuan, apa yang terlintas di benak ketika mendengar kata ‘Mas-Mas Jawa’? Apakah seksi, idaman, gagah, karismatik terlintas meski hanya sekilas? Tak dipungkiri lagi mas-mas jawa adalah komoditas utama dalam pencarian jodoh. Cewe-cewe entah kenapa ada aja yang bilang, “pengen deh dapet orang jawa.” Alasannya macem-macem mulai dari yang sekedar impian masa kecil, pengen aja, sampe dapet wangsit dari mbah Jambrong. Saya ngga ngelak, pria jawa memang identi dengan kualitas terbaik. Mungkin Abang, Aa, Uda, Bli, Daeng, atau Bung juga suka merasa daya saing di pasar rendah, apakah dikarenakan passing grade Si Mas-Mas tinggi? Atau karena ada quality control sebelum masuk pasar? Hmm. Mari disimak beberapa hal yang membuat mas jawa menjadi undeniable (ngga bisa ditolak) 1. Killer smile Mungkin tatapannya orang Jerman atau seringainya kumpeni itu bisa membunuh. Tapi untuk seorang mas-mas jawa, yang membunuh itu senyum. Bikin klepek-klepek. Takar

Mampang Mempeng

“Jangan mampang-mempeung” ini slogan ibu saya. Intinya jangan mentang-mentang lagi dalam kondisi yang lebih baik jadi seenaknya. Dulu pas SD saya sering mendengar ucapan ini, karena saya sering lupa diri kalau ibu saya masak makanan kesukaan saya. Saya bolak-balik nambahin isi piring. Lalu ibu saya melempar slogannya. “Jangan mampang-mempeng.” Pernah juga saya nonton film india sampe malem, terus ibu saya kebangun buat pipis, dia mengagetkan saya karena dia itu langkahnya ga bunyi. Di antara kegelapan (lampu udah dimatiin), dia nongol dan mengucap slogan kesukaannya. “Jangan mampang-mempeng.” Juga suatu ketika saya jalan-jalan sama si doi, ibu saya berpesan agar slogannya jangan dilupakan, agar saya hendaknya bersikap seperti manusia yang dido’akan ibu saya. “Jangan mampang-mempeng.” Begitulah slogan ini terus bergema di rumah. Hal serius terjadi ketika akhirnya saya perlahan mandiri, pembicaraan itu bermula dari saya bertanya gimana cara ngatur duit, kok kerasanya b