Skip to main content

Entahlah

Ada perbedaan yang besar antara orang yang meninggalkan dan orang yang kita usir dari kehidupan kita. Kadang seiring bertambah usia, kita tidak sengaja mendorong beberapa sahabat lama keluar dari lingkaran pertemanan kita. Mungkin karena jarak, rutinitas yang tidak mengizinkan atau juga karena intensitas pertemuan. Acapkali tali silaturahmi yang sebegitu mudahnya kita bangun hanya dengan sebuah hai, kita hancurkan dengan alasan kesibukan kita. Entahlah.

Sebenarnya di dunia ini, selalu ada saja orang yang akan menginisiasi untuk ‘reunian’. Hanya saja kita kerap terlalu sensitif dan entah mengapa kadang rasanya malas bertemu. Lihatlah, yang datang ke acara kumpul-kumpul reuni selalu orang yang sama dari tahun ke tahun. Kalau sudah begitu, nanti yang tidak datang akan merasa ketinggalan informasi dan berpikir bahwa dirinya diabaikan, tertinggal dan dilupakan. Padahal yang selalu datang di acara reunian tak jauh-jauh dari membicarakan kabar teman-teman yang tidak datang. Entahlah.

Keberadaan sosial mediapun tidak lantas menjamin mudahnya silaturahmi. Mungkin karena tidak setiap orang terpaut dengan rasa dan kondisi yang sama. Tidak semua user punya niatan yang serupa. Saya menyaksikan sendiri bagaimana grup whatsapp kelas yang beranggotakan teman-teman SMA maupun rekan-rekan kuliah kadang berubah menjadi sarang chatting untuk sebagian kalangan saja, yang lainnya jadi silent reader. Beberapa bahkan left group karena ga sepaham lagi sama manfaat grupnya. Kadang emang tidak bisa dipaksakan, meskipun kadang merasa rindu, ya rindu itu ngga harus selalu diobati dengan saling sapa di medsos. Bagi beberapa orang mungkin cukup tau temannya masih nafas dan hidup saja sudah merupakan bentuk pelunasan rindu. Tapi untuk sebagian kalangan, wajib hukumnya ketemuan kemudian ngobrol awkward dan ngomongin orang yang sama-sama kita kenal, atau juga ajang pamer. Entahlah.

Makin tua memang makin mudah terekspose rasa sepi. Rekan kerja hanya sebatas rekan kerja, beberapa mungkin menjadi sahabat berbagi, tapi kita tetap merasa kehilangan sesuatu, karena sebelum ini kita merasa memiliki sesuatu. Persahabatan lain, di tempat lain, di waktu yang lain. Beberapa teman saja memang tidak cukup, tapi memiliki banyak teman juga bukan selalu menjadi pertanda baik. Tidak ada yang mampu menakar kebaikan untuk diri sendiri selain diri sendiri. Entahlah.

Dalam kehidupan, banyak label open minded yang diklaim oleh orang-orang yang diam-diam menghakimi satu sama lain, seakan mereka ini guru kehidupan. Percayalah, kita semua pernah begitu.  Saya sendiri kadang takut bahwa saya jadi orang yang munafik. Lalu saya sadar, dengan saya merasa takut, saya juga bersyukur. Artinya saya tahu ini salah. Saya tahu batasan dimana saya harus berhenti dan mengabaikan segalanya. Entahlah.

Bersentuhan dengan jiwa dan pemikiran seseorang, sedikit banyak kita akan menilai orang tersebut. Pertama kenal dan masuk penjajakan untuk menjadi teman dekat rasanya kaya ngintip ke inti kehidupan seseorang tanpa takut dilukain. Tapi pelan-pelan kita tahu kekurangannya, kita menerimanya (sambil ngelist kejelekan orang itu dalam hati). Terus sekali dua kali kita bakal kesel atau tersakiti, mungkin kita maafin dan terus memilih untuk bersamanya (sambil menjadikannya pelajaran atau mungkin bahan berantem di masa depan). Pada saat terburuk sebuah hubungan, kita memutuskan pergi dan ngga kembali. Kita bahkan berharap lupa bahwa persentuhan kehidupan di antara kita pernah terjadi. Entahlah.

Seharusnya semakin kita tua, kita semakin mudah bersosialisasi dengan seseorang yang baru dan menjalin persahabatan. Karena logikanya semakin berumur kita semakin nyaman dan elegan dalam pembawaan diri. Kita ngga harus ngebuktiin apa-apa ke orang lain. Beda dengan saat masih muda, rasanya harus menunaikan tanggung jawab untuk jadi ‘seseorang’. Padahal kalau memang itu sahabat sungguhan, toh ngga akan peduli juga. Ada kontradiksi. Apa kita takut kita punya fake friends? Kita ngga pernah takut, karena kita selalu tahu jawabannya jauh di dalam hati kita. Entahlah.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Perempuan Jepang Membuang Bekas Pembalut

Selama hidup di Jepang, hal yang paling berkesan untukku adalah tiada hari berlalu tanpa pembelajaran. Bahkan ketika aku di rumah aja ngga ngapa-ngapain, aku tetap dapet pembelajaran baru. Jadi suatu pagi… aku lagi di apartemen aja kan biasa pengangguran laten [ gaya abiesz, bilang aja kosan Pak Ruslan versi fancy wkwk ], dan temen sekosanku yang orang jepang, dia nyimpen bungkus pembalut di kamar mandi. Hmm oiya kita tuh kamar mandinya shared, cuma beda kamar bobo aja. Jadi dia narohnya di salah satu papan yang ada di atas WC duduk gitu, biasanya di papan tersebut kita simpen tissue cadangan atau pengharum ruangan di situ. Oke dia lagi menstruasi. Tapi ini untuk pertama kalinya aku nemuin sampah yang digeletakin gitu aja. Nah, buat kalian yang ngga tau pembungkus pembalut yang mana, ini aku sertakan gambar… karena kebetulan aku lagi rajin dan lagi mens juga. Jadi ini pembalut… Dan ini bungkusnyaaa… yang mana tergeletak di WC tadi. Aku langsung bingung, ih tumben banget kok ngga

Ada Apa dengan Mas-Mas Jawa?

Kalau kamu adalah seorang perempuan, apa yang terlintas di benak ketika mendengar kata ‘Mas-Mas Jawa’? Apakah seksi, idaman, gagah, karismatik terlintas meski hanya sekilas? Tak dipungkiri lagi mas-mas jawa adalah komoditas utama dalam pencarian jodoh. Cewe-cewe entah kenapa ada aja yang bilang, “pengen deh dapet orang jawa.” Alasannya macem-macem mulai dari yang sekedar impian masa kecil, pengen aja, sampe dapet wangsit dari mbah Jambrong. Saya ngga ngelak, pria jawa memang identi dengan kualitas terbaik. Mungkin Abang, Aa, Uda, Bli, Daeng, atau Bung juga suka merasa daya saing di pasar rendah, apakah dikarenakan passing grade Si Mas-Mas tinggi? Atau karena ada quality control sebelum masuk pasar? Hmm. Mari disimak beberapa hal yang membuat mas jawa menjadi undeniable (ngga bisa ditolak) 1. Killer smile Mungkin tatapannya orang Jerman atau seringainya kumpeni itu bisa membunuh. Tapi untuk seorang mas-mas jawa, yang membunuh itu senyum. Bikin klepek-klepek. Takar

Apakah menulis essay dengan bantuan bot itu etis?

Beberapa hari lalu sempet liat postingan di twitter mengenai bot yang bisa menulis essay , konon… bisa mempermudah pekerjaan mahasiswa. HAHAHA. Sebagai seseorang yang bekerja di lingkungan akademisi, cuma menggeleng kepala. Hey nanti kalau pekerjaan kamu di masa depan diambil alih bot, jangan salahin bot-nya ya! Kan emang bot nya toh yang selama ini belajar. Sungguh terlalu, Martinez! Martinez siapa ang? Gatau…. Pengen aja mencela, tapi ga mungkin mencela menggunakan nama Bambang, karena itu nama dosenku ☹ Berdasarkan taksonomi Bloom, mensintesis atau create itu letaknya pada hirarki paling tinggi. Jelaslah kalau menciptakan tulisan yang berisi ide, gagasan dan mensistemasinya dalam kesatuan paragraf bukan sembarang yang mampu melakukannya. Diperlukan kemampuan berpikir level yang tinggi atau high order thinking skill . 😙 Meskipun entah kenapa menurutku, essaybot ini keliatan banget bot nya. Tulisannya ga punya sentuhan manusia, kaya ga punya hati.. WOW itu tulisan apa mantan deh

Bumiayu

Welcome to the beautiful earth! Bumiayu. Back then I used to speak flawless javanese. But now, you can’t even tell that i ever had medok accent (aku ora ngapusi iki). Bumiayu was the first place I learned about manner and etiquette. Javanese have different level of politeness in their language. They have kromo javanese and ngoko javanese. Kromo javanese used to talk with the elderly and someone that you should respect, whereas ngoko javanese is used when you’re talk to your friend or your junior. The same thing happened with Japanese and Korean. They do had formal and informal language.