Skip to main content

Petuah Si Family Man

Ayah saya bilang, “Ngga ada pekerjaan yang lebih enak selain jadi pengusaha.” Saya bukan sedang mengkritik mereka yang bekerja di perusahaan. Saya juga budak korporat.

Kalau saya boleh milih satu hal yang paling saya iri dari kerjaan ayah adalah beliau bisa milih meliburkan diri semaunya, ngga perlu izin, apalagi khawatir gaji dipotong. Kerjaan jalan, yang punyanya tetep bisa jalan-jalan.

Saya pernah loh lihat sebuah adegan di drama jepang dimana seorang karyawan harus tetap bekerja bahkan ketika ayahnya meninggal dunia. Maaf referensinya dari drama, kadang saya percaya adegan drama punya kans jadi real.

Sebagai pengusaha memang tanggung jawabnya berat, kepada Tuhan, keluarga, rekan kerja, pegawai dan kepada ilmu pengetahuan dan tetek bengek kemanusiaan.
As I grow up watched my father starting his own small business, sometimes I think ‘you can be your own boss’. One day he said, “Ngga ada orang yang terlahir sebagai pegawai.”

“Of course dad, we all born as a baby”, saya menimpali perkataannya dalam hati.

Beliau juga bilang, orang yang berpikir kalau kerja itu ngga asyik, membosankan dan berat, harus diubah mindsetnya. Beliau lantas secara retoris mempertanyakan siapa yang menciptakan model kerja yang menghasilkan pemikiran dangkal begitu?

People said “You don’t hate Mondays, you hate your job.” And my dad clearly and concisely told me, “You dont’t hate your job, you hate you.”

I don’t exactly understand, but I keep it in my mind. I know that someday everything he said would make sense.

Ayah saya kerja 8 jam tiap harinya. Beliau memang tipikal family man. Kalau boleh ngambil tagline iklan buat hidup ayah saya, saya akan mengutip iklan minuman penambah stamina : Laki kok roso-roso.

Beliau bukan lelaki sensitif yang hobi mengeluh. Sepulang kerja dan kelelahan, beliau makan, istirahat sambil nonton TV atau ngobrol sama anak-anaknya terus tidur. Kelar. Not a romantic gesture indeed, tapi kalau mengingat untuk siapa sebenarnya dia melakukan itu semua, tidak dipungkiri lagi saya bisa meneteskan airmata.

Saya ingat suatu malam dimana ayah saya tiba-tiba telpon bertanya, “Lagi ngapain?” Karena kaya liat pelangi di malam hari dengan polos dan sekenanya saya jawab “ngga lagi ngapa-ngapain.” Lalu beliau seperti kebanyakan pulsa bilang “Oh.”

Sebelumnya beliau jarang sekali menelpon saya. Selama 6 tahun di Bandung, hanya 4 kali beliau menelpon. Semua komunikasi terpusat di ibu saya.

Spontan saya nanya, “Ada apa kok tumben nelpon?”, dan dengan super manisnya beliau menimpali, “Ngga ada apa-apa. Emang ngga boleh nelpon anak sendiri?”.

Campur aduk. Kaya madu, kecap dicampur sari jeruk lemon (obat batuk btw). Di satu sisi romantis, sisi lain aneh macem “Ini beneran ayahku yang kukenal kah?”

Kirain beliau bakal ngajak ngobrol sampe pagi kaya ABG kasmaran, tahunya abis itu bilang “Ya udah, udah dulu ya.”

My dad as I recall never really good at expressing how he feel for other people. Interesting, how he suddenly asked and called. Maybe it’s quite sweet to know that I once come across his mind.

My dad come from a family that don’t have a huge painting of ‘keluarga besar’ on the wall. He is not one kind that talked about ‘nama baik keluarga’ either. My family didn’t have ‘Happy Family’ stickers on our car.

He was just smiled when I told him something interesting about my life. But it’s compelling when I talked about my problems and hardships. He said “What you are going through right now will build your character. Don’t be scared, come hell or high water, your family will always be there for you.”

He is a good father. I've watched enough movies where one's reason for living is for their child, and now I am watching it in my dad’s character.

So, kalau hari ini kamu merasa punya banyak kesulitan, ingatlah petuah si Family Man.


Comments

Popular posts from this blog

Entry 5 - Gratitude Journal: Wished

What is something that you have now that seemed like a wish back then? The first thing that comes to my mind is the freedom to do anything.  Hal yang tampak seperti mimpi dulunya adalah melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa. Beberapa di antaranya merupakan adegan berbahaya yang hanya bisa dilakukan oleh ahli. Hal seperti bepergian sendiri kemanapun, membeli barang-barang lucu yang diinginkan, bahkan berpikir hanya untuk diri sendiri. Aku tidak tahu kenapa kota tempatku tinggal,  Karawang disebut Kota Pangkal Perjuangan, tapi aku cukup tahu semua orang di sini memang bergelar pejuang. Menjadi dewasa artinya bergerak menjadi seorang yang berjuang. Dulu semuanya diperjuangkan oleh orang lain tanpa kita maknai. Sekarang aku tahu betapa lelahnya itu, tapi tidak ada seorang pun bertanya, karena semua orang ingin beristirahat juga. Aku suka menjadi dewasa karena hal-hal yang tidak terlihat ketika aku kecil, sekarang semuanya nyata. Sayangnya, kita semua mend...

Entry 4 - Gratitude Journal: Happy Memories

Write about the memories that made you happy! Aku tumbuh dan dibesarkan dengan baik oleh ayah ibuku. Banyak kenangan indah yang bisa aku jadikan sebagai mantra Patronus-ku. Sangat sulit memilih mana yang bisa aku jadikan mantra utama penangkal duka lara. Kalau aku meninggal, core memoriesku mungkin bisa menentukan mana best of the best memories, kalau sekarang masih bingung milihnya. Aku suka hari-hari kenaikan kelas, pembagian raport, dan wisuda. Karena ada kebahagiaan terlimpah ruah setelah bisa melewati kesulitan berlevel, ada kesenangan terpancar saat kita bisa mengukir senyum bangga orang tua. Momen itu yang menjadi batu pondasi kalau kelak aku lupa apa itu rasanya bagaia. Momen bahagia baru terasa setelah serentetan lelah dan luka kita lalui, kita naik level, kita jadi lebih baik. Dan kenangan itu membuatku bahagia. Aku juga suka hari-hari normal yang berlalu dengan penuh kedamaian. Ada kewarasan yang tersimpan dalam sebuah rutinitas. Ada rasa aman ketika tahu kita bisa beristir...

Rethinking about Value

Setelah baca bukunya Matt Haig, aku baru ngeh.. beliau itu pemikirannya sedikit banyak mengurai apa yang muslim harus tahu. Salah satunya adalah tentang VALUE. Selama ini, kupikir value itu konsep yang diciptakan dan dikembangkan manusia untuk menjadi manusia yang diterima secara sosial, atau paling nggak menjadi manusia yang bisa membanggakan seseorang yang dicintainya. Misalnya aja, seseorang dianggap memiliki value ketika ia bertanggung jawab, punya integritas, punya kepribadian yang unik, punya passion yang diperjuangkan, punya ketangguhan dalam menghadapi gempuran masalah, dll dll. Semua itu.... dilakukan demi ayang. HEH bukan. Yaaaa maksudnya semua itu dilakukan demi menjadi manusia yang 'desirable' atau paling nggak 'acceptable' lah yaa.. Makanya orang tuh harus terus berusaha untuk mengenali dirinya, supaya tahu value apa lagi nih yang harusnya ada di dirinya, yaa biar bagusan dikit jadi manusia. Atau value apa yang harus di-achieve biar bisa so emejing like yo...

Entry 3 - Gratitude Journal: Most Grateful For

What person in your life are you most grateful for? What do you admire about them? Siapa orang yang paling kamu syukuri ada di hidupmu? Apa yang kamu kagumi darinya? Sebagai seorang anak, aku selalu bersyukur karena terlahir dari rahim seorang ibu yang sholehah. Dari senyum ibuku, lahir ketenangan. Dari do'a tulusnya, terbuka jalan yang dipermudah. Dari keberadaannya saja, dunia terasa baik-baik saja. Dari ridho ibu, ridho Allah pun terasa dekat. Sebagai seorang perempuan, aku kagum pada kekuatannya, begitu kuatnya ia menjalani takdir yang tak selalu ramah. Aku kagum pada kesabarannya untuk menikmati segala sesuatu diantara ketidaknikmatan yang khidmat. Aku mengagumi kebaikannya yang tulus, kalau ada seseorang yang pantas didaulat menjadi Menteri Sosial, itu adalah ibuku. Sebagai seorang manusia, aku mengagumi ibuku karena beliau sosok yang kehadirannya dirindukan. Aku tahu teman-temannya sering menanyakan kehadirannya yang alfa, atau ketika beliaulah yang selalu dicari dan ditany...